permandangan

permandangan

Minggu, 16 Januari 2011

AKHLAK KHULAFAURRASYIDIN

BAB II
PEMBAHASAN
AKHLAK KHULAFAURRASYIDIN

Khulafaurrasyidin adalah khalifah Rasulullah SAW, mereka berjumlah empat Orang, yaitu : sayyidina Abu Bakar Ash-shiddiq, sayyidina Umar Bin Khattab, sayyidina Utsman Bin Affan dan sayyidina Ali bin Abi Thalib, kesemuanya itu adalah orang-orang yang setia dengan Rasulullah di saat susah maupun senang, mereka sangat berakhlak mulia karena akhlak mereka meneladani akhlak nya Rasulullah SAW.

A. SAYYIDINA ABU BAKAR ASH-SHIDDIK
Abu bakar ash-Shiddiq adalah seorang pedagang yang selalu memelihara kehormatan dan harga dirinya. la seorang yang kaya, mempunyai pengaruh yang besar, dan memiliki akhlak mulia. Sebelum datangnya Islam, ia sudah menjadi kawan akrab Rasulullah. Usianya pun hampir sama dengan Rasulullah. Begitu pun dengan kemuliaan, profesi, dan keturunannya. Tidak berlebihan jika ia terpilih menjadi khalifah pertama. Sayyidina Abu Bakar mempunyai sifat yang berjiwa pemimpin yang bijaksana, kebijaksanan beliau antara lain adalah :
1. Musyawarah
Apabila terjadi suatu perkara Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq mencari hukumnya dalam kitab Allah, bila tidak memperolehnya, ia mempelajari bagaimana Rosulullah SAW bertindak dalam perkara seperti ini. Dan bila ia tidak menemukannya, ia mengajak tokoh-tokoh yang terbaik untuk bermusyawarah.
2. SikapTegas
Bersikap tegas dalam menghadapi orang-orang yang murtad, orang-orang yang mengaku sebagai nabi dan orang-orang yang tidak membayar zakat.
3. Terbuka untuk kritik
Hal ini dapat terlihat sebagaimana dalam khutbah pertama setelah beliau dibaiat menjadi khalifah “Apabila aku berbuat baik, bantulah aku; tapi apabila aku berbuat buruk, maka luruskanlah jalanku”.
Sayyidina Abu bakar telah meletakkan garis-garis besar kepemimpinan yang menerangkan tentang sifat dan akhlak pemimpin yang baik. Sifat - sifat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kepemimpinan kerja dan perbuatan, bukan perkataan.
2. Takwa dan amal saleh adalah pondasi kepemimpinan.
3. Menjaga kesatuan dan persatuan pasukan.
4. Menjelaskan metode kepemimpinan kepada para pengikut.
5. Menggunakan nasihat yang baik dan pengarahan yang benar kepada para personel pasukan.
6. Memperbaiki diri sendiri sebelum orang lain.
7. Selalu melaksanakan shalat tepat pada waktunya.
8. Menghormati utusan musuh dan tidak melakukan hal buruk kepada mereka.
9. Menjaga rahasia dan menyembunyjkan strategi gerakan tentara.
10. Menerima tamu (utusan musuh) di tempat yang melambangkan kekuatan yang dapat menggentarkan musuh agar dia kembali ke negerinya dengan membawa berita tentang kekuatan lawan yang dia saksikan.
11. Menguasai urusan negosiasi terhadap negosiator musuh.
12. Mempunyai kesadaran yang tinggi untuk menjaga keselamatan tentara.
13. Mengedepankan musyawarah dalam mendiskusikan sebagian strategi kemiliteran.
14. Inspeksi rutin terhadap pos-pos penjagaan.
15. Bersikap adil dalam membagi tugas dan kerja kepada para prajurit.
16. Menjatuhkan sanksi kepada tentara yang membangkang atau melanggar aturan.
17. Mempunyai sikap hati-hati, sabar, dan tidak terburu¬ - buru dalam mengambil keputusan.
18. Memperhatikan kebutuhan prajurit dan memahami permasalahan yang mereka hadapi.
19. Tidak memata - matai prajuritnya.
20. Menjaga standar agama dan akhlak yang dituntut pada prajurit.
21. Tidak menyinggung tokoh agama lain dan menjaga hak orang lain.
22. Tidak berkhianat dan membatalkan perjanjian secara sepihak.
23. Tidak membunuh anak-anak, orang tua, dan wanita.
24. Juga tidak menyayat-nyayat atau memperlakukan mayat secara tidak manusiawi.
25. Tidak menghalalkan harta dan kehormatan orang lain tanpa hak.
26. Tidak merusak tumbuh-tumbuhan dan pepohonan atau menghancurkan rumah.
27. Adil kepada semua tanpa pandang bulu, bersikap kasih sayang, dan tidak berlebihan dalam aksi militer.
28. Memberikan hak-hak semua personel tanpa mengurangi sedikitpun.
29. Memberikan perhatian dan simpati kepada semua personel tentara, dan mendengarkan (keluhan) mereka.
Itulah garis kepemimpinan yang tidak hanya sekadar slogan, namun terwujud dalam dirinya. Seorang yang rendah hati, lemah lembut, dan orang muslim pertama yang membebaskan budak. Tidak tanggung-tanggung, ia berani menyerahkan seluruh hartanya kepada Rasulullah dan berkata, "Saya mewariskan Allah dan rasul-Nya untuk keluarga saya."

B. SAYYIDINA UMAR BIN KHATTAB
Sebelum menjadi khalifah, Umar ibnul - Khaththab menghidupi keluarganya dari usaha dagang. Namun ketika diangkat menjadi khalifahl ia sibuk dengan urusan negara dan pemerintahan. Dan atas usul dari para sahabat Rasulullah yang lain, ia pun hidup dari tunjangan Baitul Maal. Setelah beberapa lama, para sahabat Rasul yang lain hendak menambahkan besar uang tunjangan tersebut.
Usul para sahabat itu disampaikan kepada Umar melalui Hafshah, anak Umar. Namun, Umar menolak usul tersebut dan berkata, "Pergilah, dan katakan kepada mereka bahwa Rasulullah mencontohkan pola hidup sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akhirat. Dan, aku akan megikuti jejak langkahnya hingga kelak aku bertemu dengannya."
Hasil dari kepemimpinannya yang piawai, yang terkenang hingga kini adalah:
1. Perluasan wilayah Islam.
2. Pembuatan kalender Islam.
3. Membentuk Majelis Syuro untuk pertama kalinya.
Umar ibnul-Khaththab merupakan salah satu sosok pemimpin yang tegas, jujur dan adil dalam Islam. Ia adalah khalifah kedua dalam Islam setelah Abu Bakar ash-Shiddiq. Untuk menertibkan para pejabat bawahannya, Umar ibnul-Khaththab menulis “Risalatul Qada” atau “Dustur Umar" yang berisi nasehat dan aturan praktis untuk menerapkan keadilan dan kejujuran dalam pemerintahan.
Sebelumnya, di masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar menjabat sebagai hakim. la menjalankan amanah tersebut dengan begitu cerdas, adil, dan tegas, sehingga ia pemah mengajukan pengunduran diri dari jabatan tersebut kepada Abu Bakar, karena tak ada lagi perkara kejahatan yang bisa diurusnya.
sayyidina Umar Dekat dan memerhatikan dengan seksama kondisi kehidupan umat. Menjadi kebiasaannya keluar di malam hari hanya untuk mengetahui persis keadaan umat. Khalifah Umar sering berkeliling tanpa diketahui orang untuk me¬ngetahui kehidupan rakyat terutama mereka yang hidup sengsara. Dengan pundaknya sendiri ia memikul gandum yang hendak di¬berikan sebagai bantuan kepada seorang janda yang sedang dita¬ngisi oleh anak-anaknya yang kelaparan. Ketika mengetahui keadaan si ibu dan anak yang sudah kelaparan, Khalifah Umar merasa bahwa kelaparan yang dialami oleh keluarga miskin tersebut adalah disebabkan karena kelalaiannya dan ketidakmampuannya memberikan keadilan terhadap semua lapisan masyarakat, oleh karena itu, langkah pertama yang beliau lakukan adalah menyelesaikan masalah yang dialami oleh sang ibu dengan memberikan makanan kepadanya.
Kualitas kepemimpinan Umar bin Khatthab adalah cermin dari kualitas pemimpin umat yang bijak, arif, dan adil. Beliau ikut merasakan penderitaan rakyatnya.
Beliau Memiliki jiwa yang besar dalam menerima kritikan dari rakyat yang dipimpinnya.
Keikhlasan menerima kritikan adalah sebuah sikap yang sangat sulit untuk diwujudkan terlepas dari posisi sosialnya. Pernah pada suatu peristiwa Salman al Farisi membuat perhitungan dengan Khalifah Umar bin Khattab di hadapan orang banyak, yaitu ketika ia melihat Umar mengenakan baju yang bahannya terdiri atas dua kali lipat yang menjadi bagian satu orang rakyat biasa dari bahan yang sama. Maka, Umar meminta kepada putranya, Abdullah agar menjelaskan hal itu. Abdullah langsung bersaksi bahwa ia telah memberikan bagiannya itu kepada ayahandanya.
Sayyidina Umar bin Khaththab membagi tipe pemimpin menjadi empat macam.

1. Pemimpin yang berwibawa.
Yaitu pemimpin yang tegas bertindak terhadap segala bentuk kejahatan, tak peduli siapapun yang melakukannya. Tak peduli apakah pelaku itu diri sendiri, keluarga, atau orang-orang dekatnya sekali pun. Jika mereka salah, pemimpin yang berwibawa akan menghukumnya, sehingga rakyat yang dipimpinnya menjadi sejahtera lahir dan batin.

2. Pemimpin yang tidak tegas terhadap dirinya sendiri.
Pemimpin seperti ini tidak berani bersikap tegas terhadap bawahannya. la juga lemah dan tidak berwibawa di mata rakyatnya. Pemimpin seperti ini selalu di buntuti oleh bahaya, dan jika tidak diperbaiki maka kehancuran akan datang kepadanya.
3. Pemimpin egois.
lni tipe pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri, tanpa peduli terhadap bawahan dan rakyatnya. la hanya mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Pemimpin seperti ini dibenci oleh bawahan dan rakyatnya. Dan kudeta selalu menunggu untuk merebut kekuasaan darinya.
4. Pemimpin diktator yang bersama rezimnya menghancurkan keadilan dan merampas hak rakyat. Pemimpin seperti ini memanipulasi semua peraturan untuk melanggengkan kejahatan yang ia lakukan. Ia diikuti para bawahannya, tetapi dibenci rakyatnya.Memang terkadang dengan kelicikannya ia mampu berkuasa sangat lama. Namun kehancuran norma yang dibuatnya sangat besar sekali. Dan jika kehancuran telah datang, seluruh rakyat turut merasakannya dan sulit untuk bangkit kembali.
Tips-tips kepemimpinan yang dilaksanakan oleh Umar ibnul - Khaththab diantaranya adalah sebagai berikut.
• Menerapkan seluruh isi AI-Qur’an.
• Menjalankan petunjuk Rasulullah saw.
• Tegas terhadap siapa saja.
• Bertindak adil tanpa pandang bulu.
• Jujur dalmn setiap tindakan.
• Hidup dengan kesederhanaan.
• Mencintai rakyatnya.
• Selalu peduli terhadap kondisi rakyatnya.
• Secara rutin melakukan pengontrolan terhadap kehidupan rakyatnya.
• Menunaikan semua hak bawahan dan rakyatnya.
• Memerintah dengan sikap keteladanan, bukan sekedar kata perintah.
• dan lain-lain.

C. SAYYIDINA UTSMAN BIN AFFAN
Khalifah Islam yang ketiga ini memiliki nama panjang Ustman bin Affan al-Umawi al-Quraisyi. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Abdillah atau Abu’ Amr. Usianya lebih muda 5 tahun daripada Rasulullah saw.. Ia adalah saudagar kain yang kaya raya dan juga memiliki ternak yang paling banyak diantara orang-orang Arab lainnya. Ia diangkat rnenjadi khalifah oleh Majelis Syuro ketika itu. Bakat kepemimpinannya telah terlatih karena ia berpengalaman memimpin usaha dagang dan ternaknya.
Diantara sifat-sifat kepemimpinan yang dimilikinya yaitu:
1. Menjalankan Al-Qur’ an dan As-Sunnah.
2. Teguh pendirian.
3. Dermawan.
4. Lemah lembut dan sopan santun, bahkan terhadap lawannya.
5. Bertanggung jawab.
6. Bersikap Adil.
7. Berani mengambil keputusan.
8. Pandai memilih bawahannya yang kompeten.
9. Aspiratif terhadap pendapat rakyatnya.
10. dan lain-lain.

Prestasi yang diraihnya sebagai hasil dari kepemimpinannya yang handal seperti :
• Menaklukan Syria dan mengangkat Muawiyah sebagai gubernur di sana.
• Menaklukan Afrika Utara dan mengangkat Amr ibnul¬-`Ash menjadi gubernur di wilayah tersebut.
• Menaklukan daerah Arjan dan Persia.
• Menaklukan Khurasan dan Nashabur di Iran.
• Membukukan Al-Qur`an ke dalam bentuk baku yang seragam sehingga tidak ada perselisihan lagi. Mushaf yang dibakukan ini dikenal dengan Mushaf Usmani dan dipakai hingga sekarang.
• Setiap hari Jumat beliau memerdekakan seorang budak (bila ada).

Contoh sifat kedermawan yang dilakukan Usman untuk perjuangan Islam adalah sebagai berikut :
1. Usman bin Affan membeli sumur yang jernih airnya dari seorang Yahudi seharga 200.000 dirham, dan kemudian mewakafkannya untuk kepentingan umum.
2. Memperluas Masjid Madinah dan membeli tanah disekitarnya.
3. Mendermakan 1000 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham sumbangan pribadi untuk perang Tabuk.
4. Thalhah bin Ubaidillah berutang kepada Usman bin Affan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Ketika hendak membayar utangnya, Usman bin Affan menolaknya dan menyedekahkan utang tersebut kepada Thalhah.
Usman bin Affan merupakan pemimpin yang baik bagi rakyatnya. Namun orang-orang munafik, Yahudi dan musuh¬ - musuh Islam lainnya tidak senang terhadap pemerintahannya. Beliau wafat karena dibunuh di rumahnya, ketika sedang membaca Al-Qur’an.
D. Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib terkenal berani dan tegas dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah SWT, dan menindak segala macam kezaliman dan kejahatan. Sehingga sesudah ia dibai’ah menjadi khalifah, dikeluarkannya dua ketetapan:
a. Memecat kepala-kepala daerah yang diangkat Khalifah Utsman dan mengangkat pengganti pilihannya sendiri
b. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan khalifah Utsman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapapun yang tiada beralasan diambil Ali kembali.
Khalifah Ali bin Abi Thalib juga seorang yang memiliki kecakapan dalam ilmu pengetahuan, bidang militer dan strategi perang.
Meneladani artinya mengambil atau mencontoh perbuatan, kelakuan, dan sifat yang baik yang terdapat pada diri seseorang. Gaya kepemimpinan artinya cara memimpin. Meneladani gaya kepemimpinan Khulafaurrasyidin artinya mangambil atau mencontoh cara-cara memimpin yang baik yang pernah dilakukan Khulafaurrasyidin dalam memimpin rakyatnya.Setiap gerak gerik dan tingkah laku Khulafaurrasyidin sudah seharusnya menjadi tauladan bagi kita umat Islam. Dan akan sangat menarik apabila kualitas karakter kepemimpinan Khulafaurrasyidin ini bisa kita transfer kepada pemimpin kita yang barada di bumi Indonesia ini. Gaya kepemimpinan Khulafaurrasyidin yang tegas namun penuh dengan kasih sayang, rasa tanggungjawab yang besar, terbuka untuk kritik adalah mutiara yang patut kita ambil hikmah.
Karakter kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, seperti yang diungkapkan Dhirar bin Dhamrah kepada Muawiyyah bin Abu Sufyan adalah sebagai berikut :
1. Berpandangan jauh ke depan (visioner).
2. Sangat kuat (fisik).
3. Berbicara dengan sangat ringkas dan tepat.
4. Menghukum dengan adil.
5. Ilmu pengetahuan menyemburat dari seluruh sisinya (perbuatan dan perkataannya).
6. Berbicara dengan penuh hikmah (bijaksana) dari segala segi.
7. Menyepi dari dunia dan segala perhiasannya.
8. Berteman dengan ibadah pada malam dan kegelapan.
9. Banyak menangis karena takut kepada Allah.
10. Banyak bertafakur setelah berusaha.
11. Selalu menghitung-hitung kesalahan dirinya (muhasabah).
12. Menyukai pakaian kasar, makanan orang fakir.
13. Selalu mengawali ucapan salam apabila bertemu.
14. Memenuhi panggilan apabila dipanggil.
15. Bawahannya tidak takut berbicara, dan mendahulukan orang lain dalam berpendapat.
16. Jika tersenyum, giginya terlihat seperti mutiara dan tersusun rapi.
17. Menghormati ahli agama dan mencintai kaum fakir miskin.
18. Di hadapannya orang-orang yang kuat tidak akan berani berbuat batil.
19. Di hadapannya, orang-orang yang lemah tidak akan berputus asa dari keadilannya.
20. Di tempat ibadah dia menangis seperti orang yang sedang bersedih.
Nasihat berikut ini diberikan Ali saat menasihati putranya, setelah ditikam Abdurahman bin Muljam.
• Kekayaan yang paling berharga adalah akal.
• Kefakiran yang paling besar adalah kebodohan.
• Sesuatu yang paling keji adalah sifat ujub.
• Kemulian yang paling tinggi adalah akhlak yang mulia.
• Jangan bersahabat dengan orang bodoh, karena dia akan memanfaatkan dirimu demi bahayamu.
• Jangan engkau bersahabat dengan pendusta, karena ia akan mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat kepadamu.
• Janganlah engkau bersahabat yang batil.
Kepemimpinannya telah teruji. Ia berani menghadapi kaum musyrikin dalam perang Khandak yang berjumlah 24.000 prajurit. Pasukan berkuda yang dipimpin oleh Amru Bin Wudd hendak menikamnya. Namun, Ali berhasil membunuhnya. Tidak heran jika akhirnya ia mendapat sebutan sebagai orang yang tidak dapat dikalahkan oleh lawan. Belum lagi segudang kehebatan dan keberanian yang lainnya.















BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa khulafaurrasyidin adalah khalifah Rasulullah yang sangat mulia akhlak nya, karena akhlak mereka sebagaimana akhlak rasulullah yang patut untuk diteladani bagi umat islam pada umum nya. Mereka adalah pemimpin yang sangat bijaksana dalam memimpin rakyat nya.
Hal selanjutnya yang perlu sama-sama kita perhatikan adalah, bersediakah kita termasuk para pemimpin kita sekarang ini, baik yang berlevel gubernur, wali kota, bupati dan pemimpin di bidang lainnya rela menerima kritikan dari bawahannya? Mampukah para pemimpin kita tersebut mengambil pelajaran dari kritikan yang mereka terima? Kritikan itu ibarat pil pahit, yang memang rasanya terasa amat pahit, namun bisa menyembuhkan, kritikan juga bisa kita misalkan sebuah rem di kendaraan, dimana rem tersebut akan mampu menyelamatkan sopir dari kecelakaan. Oleh karena itu hendaklah pemimpin kita di Indonesia ini ikhlas menerima kritikan dalam bentuk apapun sehingga kritikan tersebut bisa menjadi koreksi dan acuan bagi pemimpin dan akhirnya mampu meningkatkan kinerjanya.







DAFTAR PUSTAKA

Al Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan. 1993.
As’ad, Mahrus. Ayo Mengenal Sejarah Kebudayaan Islam. Bandung: Penerbit Erlangga. 2009.
Ismail, Faisal. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: CV Bina Usaha. 1983.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru. 2003.
http://www.promagmulia.com/artikel/detail/6/kepemimpinan-khulafaur-rasyidin
http://members.fortunecity.com/imansw/Khulafaurrasyidin.htm

PERKARA CERAI TALAK

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Perkara cerai talak yang diajukan seorang suami terhadap isterinya, sementara suaminya sebenarnya telah menceraikan isterinya secara liar (di bawah tangan) sebanyak tiga kali yang dijatuhkan terpisah dalam tiga kali kejadian. Dalam persidangan, keduanya berkeinginan rujuk kembali karena mengingat masa depan anak-anak.
Bagaimana cara Pengadilan menjatuhkan putusan ? Bila Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara syariat Islam.
B. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam pengetahuan kami dalam materi PERBANDINGAN MAZHAB dan memenuhi tugas dari dosen pengajar.

C. metode dan tekhnik penulisan
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode KEPUSTAKAAN









BAB II
PEMBAHASAN
Perkara cerai talak yang diajukan seorang suami terhadap isterinya, sementara suaminya sebenarnya telah menceraikan isterinya secara liar (di bawah tangan) sebanyak tiga kali yang dijatuhkan terpisah dalam tiga kali kejadian. Dalam persidangan, keduanya berkeinginan rujuk kembali karena mengingat masa depan anak-anak.
Bagaimana cara Pengadilan menjatuhkan putusan ? Bila Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara syariat Islam.
Seandainya Pengadilan memberi putusan agar suami menjatuhkan talak yang ketiga, maka akan kuat dugaan mereka tidak akan datang dalam persidangan. Bagaimana jalan keluarnya?
Mahkamah Agung memberi jawaban sebagai berikut :
Talak di luar Pengadilan tidak sah, lihat ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor. 9 tahun 1975.(MARI. 120:2007).
A. Pengertian Talak Dalam Prespektif Kefikian.
Talak dalam bahasa Indonesia diartikan perceraian yang artinya terputusnya tali perkawinaan yang sah akibat ucapan cerai suami terhadap istrinya. Maksudnya adalah perceraian karena talak adalah seorang suami yang menceraikan isterinya dengan menggunakan kata-kata cerai atau talak atau kalimat lain yang mengandung arti dan maksud menceraikan isterinya, apakah talak yang diucapkan itu talak satu, dua atau tiga dan apakah ucapan talak itu diucapkan talak dua atau tiga sekaligus pada satu kejadian atau peristiwa, waktu dan tempat yang berbeda.Para ahli hukum Islam (fukaha) berpendapat bahwa bila seseorang mengucapkan kata-kata talak atau semisalnya terhadap isterinya maka talaknya dianggap sah dan haram hukumnya bagi keduanya melakukan hubungan biologis sebelum melakukan rujuk atau ketentuan hukum lain yang membolehkan mereka bersatu sebagai suami isteri.Para fukaha berbeda pendapat tentang kata-kata talak atau semisalnya yang diucapkan oleh suami kepada isteri dalam kondisi sadar atau tidak misalnya suami dalam kondisi mabuk, atau karena suami dalam kondisi tidak tenang atau ketika dalam kondisi marah yang dipicu adanya pertengkaran yang dapat menghilangkan keseimbangan jiwa suami atau karena dalam kondisi dipaksa.

Abdul Aziz Dahlan et.al dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa talak dalam bahasa arab artinya melepaskan dan meninggalkan suatu ikatan. Dalam istilah hukum talak adalah perceraian ……antara suami isteri atas kehendak suami ( Abdul Aziz Dahlan et.al 1996:1776 ).
Sayyid Sabiq dalam Fiqh as Sunnah memberi definisi bahwa talak dalam terminology bahasa adalah “ al-irsalu wa al-taraku” artinya melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan menurut istilah hukum talak adalah “ hillu rabithatin al zuwaj “ artinya melepaskan ( ikatan ) tali perkawinan. ( Sayyid Sabiq 1975:241)
Ulama fikih ( fukaha) berpendapat bahwa talak dibagi kepada dua macam yaitu :
1. Talak sunni, adalah talak yang dijatuhkan suami sesuai dengan petunjuk yang disyariatkan Islam, yaitu :
a. Menalak isteri harus secara bertahap ( dimulai dengan talak satu, dua dan tiga ) dan diselingi rujuk.
b. Isteri yang ditalak itu dalam keadaan suci dan belum digauli dan c. Isteri tersebut telah nyata-nyata dalam keadaan hamil.
2. Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami melalui cara-cara yang tidak diakui syariat islam yaitu:
a. Menalak isteri dengan tiga kali talak sekaligus,
b. Menalak isteri dalam keadaan haidh,
c. Menalak isteri dalam keadaan nifas, dan Menjatuhkan talak isteri dalam keadaan suci tetapi telah digauli sebelumnya, padahal kehamilannya belum jelas.
Ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa menjatuhkan talak bid’i hukumnya haram dan pelakunya mendapat dosa. Akan tetapi apabila terjadi juga seperti tersebut di atas, maka jumhur mengatakan talaknya tetap jatuh. Alasan mereka adalah talak bid’i itupun termasuk dalam keumuman ayat-ayat yang berbicara tentang talak, seperti surah al- Baqarah ayat 229-230, at-Talak ayat 1-2, dan hadits Nabi SAW dalam kasus Abdullah bin Umar yang menjatuhkan talak terhadap isterinya yang sedang haid. Rasulullah bersabda “Suruh dia kembali pada isterinya sampai ia suci, kemudian suci, lalu suci lagi setelah itu jika ia ingin menceraikan isterinya itu, dan jika ingin menalak juga lakukanlah ketika itu (ketika suci belum digauli ( H.R. Muslim, Abu Dawud , Ibnu Majash dan an Nasa’i ) ( Abdul Azizi Dahlam et.al 1996:1783)Pengertian Talak Dalam Hukum Positif.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No.1/1974) dan Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975( PP.No 9/1975 ) tentang Pelaksanaan UU No.1/1975 dalam pengertian umum tidak terdapat definisi talak, kecuali definisi talak dapat dilihat pada pasal 117 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang berbunyi sebagai berikut :
“Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130 dan 131”
Bunyi pasal 129 KHI berbunyi sebagai berikut :
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu “
Pasal 130 KHI berbunyi sebagai berikut :
“Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dan terhadap (ke) putusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi “.
Sedangkan bunyi pasal 131 KHI berbunyi :
“Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak”.
Pasal 39 ayat (1) UU. No.1/1974 menyatakan bahwa :
“ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Pasal 66 UU. No.1/1974 berbunyi sebagai berikut :
Ayat (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
Ayat (2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang digunakan bersama tanpa izin pemohon.
Menurut pasal 14 PP Nomor 9/1975 dinayatakan bahwa :
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya dengan alasanalasannya serta meminta kepada Pengadilan agar dilaksanakan untuk keperluan itu.
Pasal tersebut di atas secara lex spesialis ditujukan kepada suami yang akan menceraikan isterinya, sedangkan pasal 34 PP Nomor 9/1975 merupakan lex spesialis yang menjelaskan bagi isteri yang menggugat suaminya. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :

Ayat (1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
Pasal (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan pada kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dengan demikian penulis maksudkan judul di atas bukan pasal 34 PP Nomor 9/1975 namun pasal 14 PP Nomor 9/1975.Dari pengertian fikih dan hukum positif maka talak mempunyai kesamaan dan perbedaan sebagai berikut :
a. Kesamaannya, pengertian talak dalam fikih, UU No. 1/1974 dan dalam KHI yaitu talak diucapkan oleh suami kepada isteri,
b. Perbedaannya, dalam fikih talak diucapkan oleh suami pada waktu dan tempat yang tidak tertentu, sedangkan dalam KHI dan UU No.1/1974 setelah permohonan izin menceraikan (mentalak) isterinya dikabulkan oleh Pengadilan dan pengucapan talak harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
B. KESAKSIAN TALAK
Kesaksian Talak Menurut Ahli Fikih dan Menurut Hukum Positif.
Kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i (kecuali pada qaul qadimnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya memerlukan dua orang saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan talak seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, alasan mereka berpendapat demikian karena talak merupakan hak mutlak seorang suami terhadap isterinya, sedangkan suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya itu tidak dituntut untuk menghadirkan saksi, selain itu mereka berpendapat tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa seorang suami dalam menjatuhkan talak terhadap isterinya memerlukan saksi.
Berbeda halnya dengan ulama Syi’ah Imamiyah mereka berpendapat bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya perlu disaksikan oleh dua orang saksi dengan mengambil argumerntasi pengertian secara umum surah at Talak (65) ayat 2 (Abdul Aziz Dahlan et.al 1996:1783) yang berbunyi sebagai berikut :
“….. wa asyhiduu dzawai adlin minkum wa aqiimuu asy syahadata lillahi “ artinya :…. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…..(Q.S. at-Talak ayat 2).

Imam Abu Dawud menceritakan bahwa Imran bin Husain pernah ditanya tentang seseorang yang menjatuhkan talak isterinya tanpa saksi, kemudian ia rujuk dengan isterinya itu tanpa saksi pula. Imran bin Husain ketika itu menyatakan “ dia talak isterinya tidak sesuai dengan sunah (Rasulullah) dan dia kembali kepada isterinya tidak sesuai dengan sunnah. Persaksikanlah talaknya itu dan persaksikan pula rujuknya.
Menurut pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 sebagaimana yang penulis kutip di atas maka talak yang akan diucapkan oleh suami terhadap isterinya selain setelah mengikuti sidang-sidang dan mendapat izin dari Pengadilan, maka Pengadilan membuka sidang guna penyaksian terhadap suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya.

Tampaknya pembuat Undang-undang pencantuman pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 diilhami pendapat ulama Syi’ah dan (qaul qadimnya Imam Syafi’i) yang mensyaratkan adanya dua orang saksi bila seseorang akan menceraikan/mentalak isterinya.
Dari uraian tersebut di atas maka menurut fikih dan hukum positif ada perbedaan dan kesamaan tentang seseorang yang akan menceraikan isterinya yaitu :
a. Persamaannya, menurut ulama Syi’ah Imamiyah (termasuk qaul qadimnya Imam Syafii) dan hukum positif bahwa seseorang dalam mengucapkan/mentalak isterinya perlu adanya saksi.
b. Perbedaannya, bahwa jumhur ulama mengatakan, pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, sedangkan dalam hukum positif menyatakan bahwa dalam menjatuhkan talak seorang suami terhadap isterinya diperlukan saksi
Tindakan Pengadilan Terhadap Perkara Cerai Talak di Bawah Tangan Sementara Pihak Berperkara Akan Rujuk.
Terhadap pertanyaan dari Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD kepada Mahkamah Agung RI yang dikutip pada awal tulisan ini, maka Pengadilan (Hakim) dalam memeriksa perkara tersebut haruslah bijaksana. Dari satu sisi sebagai muslim hukum fikih yang berjalan dan hidup di tengah-tengah masyarakat muslim di Nangroe Aceh Darussalam perlu mendapat apresiasi, karena sebagai muslim yang patuh terhadap ajaran agamanya perlu mendukung hukum yang hidup di masyarakat terutama sekali hukum syari’ah. Dari sisi lain sebagai muslim plus sebagai hakim Negara wajib untuk menegakkan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Undang-undang dan peraturan lain tentang perkawinan.
Dalam Islam seorang suami yang akan menceraikan/mentalak isterinya haruslah mengetahui rukun dan syarat dalam melakukan talak terhadap isteri yang akan diceraikannya.
Kalangan ahli fikih kontemporer seperti Muhammad Abu Zahra, Ali Hasbalah, Ali Al-Khalif, Mustafa As-Siba’i , Mustafa Ahmad az Zarqa, Abdur Rahman As-Sabuni dan Sayid Sabiq berpendapat bahwa kesaksian dalam talak sangat logis, sehingga terjadi keseimbangan (tawazun) kepentingan kesaksian dalam masalah perkawinan dan perceraian.
Mereka-mereka yang penulis sebutkan di atas berpendapat bahwa “dalam perubahan situasi dan kondisi yang diakibatkan perkembangan zaman, persoalan saksi semakin penting karena waziib ad-diin (tanggung jawab religius) masing-masing suami semakin melemah, sehingga dikhawatirkan talak tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang.” (A.Z. Dahlan 1996:1783).
UU. No.1/1974, PP. No.9/1975 dan KHI tidak mentolerir adanya perceraian di bawah tangan, hal itu dimaksudkan agar seorang suami tidak semena-mena menceraikan isterinya tanpa adanya aturan yang harus dipedomani.
Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara yang ditangani atas kasus yang diajukan oleh Mahkamah Syariyah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tersebut?. Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai berikut:
a. Sesuai hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan bahwa selama perkara yang diajukan oleh pihak-pihak berperkara belum diputus, maka kewajiban hakim untuk mengusahakan perdamaian secara maksimal.
Pasal 69 UU No.1/1974 menjelaskan bahwa : “ Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan pasal 79,pasal 80 ayat (2), pasal 82 dan pasal 83.
Pasal 82 UU no.1/1974 ayat (4) UU No.1/1974 berbunyi sebagai berikut:
“Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”.Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “mendamaikan” berarti menyelesaikan permusuhan (pertengkaran dan sebagainya) supaya kedua pihak berbaik kembali. (WJS Poerwadaminta 1985:234).
Kasus yang dikemukakan tersebut jelas bahwa kedua belah pihak berperkara akan mengakhiri berperkara di Mahkamah Syar’iyah (bisa dibaca Pengadilan Agama), apakah tindakan pihak-pihak tersebut atas prakarsa atau upaya hakim dalam mendamaikan, ataukah karena inisiatif pihak-pihak sendiri mengingat anakanaknya perlu mendapat perhatian dari orang tuanya.Apalagi kalau pihak Termohon/isteri datang dalam persidangan, maka hakim sebelum melanjutkan pemeriksaan menyarankan agar pihak-pihak menempuh proses mediasi sesuai amanat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008.
Nah, bila hal itu telah terjadi ( damai ) maka hakim menyarankan agar Pemohon/Penggugat membuat pernyataan mencabut perkaranya (kalau pihak Termohon/Tergugat hadir maka diperlukan persetujuannya) sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk melanjutkan pemeriksaan atas perkara yang mereka ajukan ke Mahkamah Syar’iyah ( Pengadilan Agama ).
Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat penetapan yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan menyatakan demi hukum (positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum. (Mujahidin 2008:172)
b. Talak tiga yang sesuai dengan tata cara syari’at yang sempat diucapkan oleh pihak suami terhadap isterinya (diluar sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama) itu bukanlah wewenang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama justeru Pengadilan tidak mentolerirnya, karena perceraian bisa terjadi bila dilakukan di depan sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama.
Pasal 65 UU No.1/1974 menyatakan bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak “.
c. Benarkah bila Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani ? karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara syariat Islam.Menurut pasal 65 dan 82 UU No.1/1974 jo pasal `115 KHI bahwa sebelum perkara (perkawinan) belum final/diberi putusan maka hakim wajib untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara.
Dalam mendamaikan bukan berarti bahwa hakim hanya berusaha agar pihak-pihak mengakhiri sengketanya dengan harapan dapat kembali rukun, damai tetapi mendamaikan diartikan lebih dari itu, termasuk di dalamnya upaya mendamaikan itu hakim menasehati dan memberi arahan kepada kedua belah pihak yang akan mengakhiri sengketanya, termasuk memberi arahan kepada pihak-pihak terutama sekali kepada suami yang telah menjatuhkan talaknya secara liar (tanpa prosedur yang diatur dalam Undang-undang).

Karena Pemohon telah menjatuhkan talaknya yang ketiga secara liar/di bawah tangan (talak bain kubra), maka hakim atau mediator memberi nasehat-nasehat kepada pihak-pihak bahwa secara fikih Pemohon tidak dapat lagi rujuk kepada isterinya sebelum isterinya menikah lagi dengan laki-laki lain dan bercerai setelah adanya hubungan suami isteri.
Nah, karena perceraian itu dilakukan di bawah tangan, maka perkawinan isterinya terhadap suami yang kedua tentu juga di bawah tangan, dan seterusnya dalam proses/langkah-langkah seterusnya. Memang repot dan memang repot dan ribet, itulah konsekwensinya bagi masyarakat yang tidak taat hukum.
d. Dapatkah Pengadilan memberi putusan agar suami menjatuhkan talak yang ketiga.?
Oleh karena pihak-pihak akan mengakhiri sengketanya maka hakim tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan pemeriksaan atas perkara a quo, bahkan sebaliknya hakim tidak dibenarkan memberi putusan dan mengabulkan permohonan Permohon dengan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak tiga, jelas hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang, justeru dalam produknya hakim wajib membuat penetapan bahwa perkara tersebut dicabut karena telah terjadi perdamian, kemudian hakim memberitahukan kepada pihak-pihak bahwamereka tidak perlu datang lagi dalam persidangan karena pekaranya telah selesai dan diputus.












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari tulisan tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan(konklusi ) bahwa:
1. Talak adalah perceraian yang dilakukan dan diucapkan oleh suami terhadap isterinya di depan persidangan Pengadilan setelah Pengadilan memberi izin kepada suami (Pemohon).

2. Talak yang diucapkan di luar persidangan Pengadilan merupakan talak liar, keabsahannya secara hukum tidak sah karena dianggap tidak pernah terjadi perceraian.

3. Perceraian/talak yang dijatuhkan atau diucapkan melalui putusan atau dalam sidang Pengadilan dimaksudkan untuk membela hak kewajiban, status suami isteri secara hukum, sekaligus memberi pendidikan hukum agar perceraian/talak tidak sewenang-wenang dilakukan tanpa adanya proses, pembuktian-pembuktian.
4. Sebagai hakim muslim perlu memberi pengertian kepada pihak-pihak yang telah menjatuhkan talak liar ditinjau secara hokum serta memberi solusi terhadap perkara yang diajukan.








DAFTAR BACAAN

1. Al Quranul Karim
2. Abd Aziz et.al, Ensiklopedi Hukum Islam,
3. Kompilasi Hukum Islam,
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
,5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
6. MARI, Himpunan Tanya Jawab Permasalahan Dan Paparan Pada rapat KerjaNasional MARI Dengan Jajaran Pengadilan pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan
Seluruh Indonesia tahun 2007 dan tahun 2008,
7. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,
8. W.J.S. Poerwadaminta, Kamus bahasa Indonesia.
9. A. Rafiq, Hukum Islam di Indonesia


Sabtu, 15 Januari 2011

STATUS ANAK PUNGUT,ANAK ANGKAT, ANAK ZINA, ANAK HASIN INSEMINASI DAN BAYI TABUNG

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah
Mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah s.w.t. Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.
Semaraknya perzinaan membuahkan banyak permasalahan. Tidak hanya pada kedua pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan tersebut. Gelaran anak zina sudah cukup membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian muncul masalah lainnya, seperti nasab, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin lepas darinya.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.

B. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam pengetahuan kami dalam materi MASAILUL FIQHIYAH WAL HADITSAH dan memenuhi tugas dari dosen pengajar yaitu Bapak Drs. Izzudin, M.Ag

C. metode dan tekhnik penulisan
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode KEPUSTAKAAN


























BAB II
PEMBAHASAN

ANAK PUNGUT,ANAK ANGKAT, ANAK ZINA, ANAK HASIN INSEMINASI DAN BAYI TABUNG
A. ANAK PUNGUT / ANAK ANGKAT
Yusuf Qardhawi, ulama kelahiran Mesir tahun 1926 yang sejak tahun 1961 tinggal Doha Qatar, dalam bukunya Halal dan Haram dalam Islam, menguraikan secara singkat perihal pengangkatan anak menurut Islam.
Pada masa jahiliyah, mengangkat anak telah menjadi ‘trend’ bagi mereka, dan anak angkat bagi mereka tak beda dengan anak kandung, yang dapat mewarisi bila ayah angkat meninggal. Inilah yang diharamkan.dalam Islam.
Prof. Dr. Amir Syarifuddin dalam bukunya ‘Hukum Kewarisan Islam’ menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal lembaga anak angkat atau dikenal dengan adopsi dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam keekrabatan orang tua angkatnya. Islam mengakui bahkan menganjurkan mengangkat anak orang lain, dalam arti pemeliharaan.
Allah s.w.t. akhirnya menghapus budaya jahiliyah tersebut dengan menurunkan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5: ‘Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dia-lah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapak-bapak mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu.’ Dengan turunnya ayat tersebut, maka Islam telah menghapus seluruh pengaruh yang ditimbulkan oleh aturan jahiliyah, misalnya tentang warisan dan dilarangnya kawin dengan bekas isteri anak angkat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 75 yang berbunyi: ‘Keluarga sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian menurut Kitabullah,’ dan surat An-Nisa’ ayat 24 yang berbunyi: ‘Dan bekas isteri-isteri anakmu yang berasal dari tulang rusukmu sendiri.’
Secara panjang lebar Allah s.w.t. menjelaskan tentang halalnya mengawini bekas isteri anak angkat, yaitu ketika Rasulullah s.a.w. ragu dan takut bertemu dengan orang banyak ketika akan mengawini Zainab binti Jahsy, karena Zainab adalah mantan isteri Zaid bin Haritsah, atau dikenal dengan Zaid bin Muhammad. Hal ini sebagaimana difirmakan-Nya dalam surat Al-Ahzab ayat 37 – 40.
Pendapat Yusuf Qardhawi tersebut, diamini oleh Ahmad Asy-Syarbashi, sebagaimana dinyatakan beliau dalam bukunya Yas’alunaka, maka haramnya mengangkat anak adalah, apabila nasabnya dinisbatkan kepada diri orang tua yang mengangkatnya. Sedangkan mengangkat anak, apalagi anak yatim, yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah s.w.t. Hal ini sebagaimana dikatakan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: ‘Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya.’
Laqith atau anak yang dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar ibn Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’
Ummat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah s.w.t. Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.
B. ANAK ZINA

Tidak dapat dipungkiri lagi musibah perzinaan sudah mulai merebak di negara ini. Kata ‘zina’ mulai disamarkan dengan istilah yang samar dan agak menarik, WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria Idaman Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), Gadis Pendamping dan yang sejenisnya yang mengesankan permasalahan ini mulai dianggap ringan oleh sebagian kaum muslimin di negeri ini.
Ditambah lagi dengan ditinggalkannya syariat islam secara umum dan khususnya hukuman bagi para pezina. Sehingga hal-hal ini mendukung tersebarnya penyakit ini dilingkungan kaum muslimin. Padahal semaraknya perzinaan membuahkan banyak permasalahan. Tidak hanya pada kedua pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan tersebut. Gelaran anak zina sudah cukup membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian muncul masalah lainnya, seperti nasab, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin lepas darinya.
Realita seperti ini tentunya tidak lepas dari sorotan syari’at Islam yang sempurna dan cocok untuk semua zaman. Tinggal kita melihat kembali bagaimana fikih Islam memandang status anak zina dalam keluarganya. Hal ini menjadi lebih penting dan mendesak dengan banyaknya realita status mereka yang masih banyak dipertanyakan masyarakat. Tentunya ini semua membutuhkan penjelasan fikih islam walaupun dalam bentuk yang ringkas, agar masyarakat menyadari implikasi buruk zina dan tidak salah dalam menyikapi anak-anak yang lahir dari perzinaan.
Hal ini semakin penting untuk diketahui dengan adanya sikap salah dari sebagian masyarakat dalam menghukumi mereka. Apalagi dengan adanya sebagian kaum lelaki yang mengingkari janin yang dikandung istrinya atau anak yang lahir dari istrinya itu adalah hasil hubungan dengannya. Atau juga sengaja menikahi wanita hamil di luar nikah, kemudian untuk menutupi aib keluarga dan menasabkan anak tersebut sebagai anaknya.
a. Nasab anak zina
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya [lihat Al Mughni 9/123]. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan tentang anak zina:
Artinya: “Untuk keluarga ibunya yang masih ada…” [HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no. 1983]
Juga menasabkan anak dari Mula’anah kepada ibunya, sebagaimana dijelaskan Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma dalam penuturannya:
Artinya: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan mula’anah antara seorang dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.” [HR. Bukhari, Kitab Ath-Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah lihat Fathu al Baari 9/460]
Inilah salah satu konsekuensi mula’anah. Ibnu al-Qayyim ketika menjelaskan konsekuensi mula’anah menyatakan: “Hukum yang ke enam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan untuk tidak dipanggil anak tersebut dengan nasab bapak, inilah yang benar dan ia adalah pendapat mayoritas ulama.” [Zaad al-Ma’ad 5/357]
Syaikh Musthafa Al’Adawi Hafizhahullah menyatakan: “Inilah pendapat mayoritas ulama bahwa nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya karena Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan tidak dinasabkan kepada bapaknya. Inilah pendapat yang benar.” [Jaami’ Ahkaam an-Nisaa` 4/232]
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menyatakan: “Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan, sehingga tidak dinasabkan kepada seorangpun baik kepada lelaki yang menzinahinya atau kepada suami wanita tersebut apabila ia bersuami, karena ia tidak memiliki bapak yang syar’i.” [Syarhu al-Mumti’, Tahqiq Kholid al-Musyaiqih, 4/255]
Nasab anak hasil selingkuh atau perzinahan, apabila dilihat kepada status ibunya, maka dapat dikategorikan menjadi dua :
1. Berstatus istri seorang suami.
Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh kemudian melahirkan anaknya, maka tidak lepas dari dua keadaan:
a. Sang suami tidak mengingkari anak tersebut dan mengakuinya sebagai anaknya.
Apabila terlahir anak dari seorang wanita resmi bersuami dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuh dengannya, dasarnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits A’isyah Radhiallahu’anha :
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum” [HR Al-Bukhari kitab Al-Faraa’id, Bab Man idda’a Akhanat au Ibna Akhi, lihat Fathul Bari 12/52 ]
Yang dimaksud dengan kata al-Firaasy disini adalah lelaki yang memiliki istri atau budak wanita yang sudah pernah digaulinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik sang pemilik kasur (suami)” [HR al-Bukhori dalam itab al-Faraaid, Bab al-Walad Lil Firaasy Hurratan kaanat au Amatan, lihat Fathul Baari, 12/32 ]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah menyatakan: “Kapan saja seorang wanita telah menjadi firaasy baik sebagai istri atau budak wanita, lalu lahirlah darinya seorang anak, maka anak itu milik pemilik firaasy” [al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 552]. Beliaupun menambahkan: “Dengan Firasy ini maka tidak dianggap keserupaan fisik atau pengakuan seorang dan tidak juga yang lainnya” [al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 553].
a. Sang suami mengingkarinya
Apabila sang suami mengingkari anak tersebut, maka sang wanita (sang istri) berada dalam satu dari dua keadaan:
o Mengakui kalau itu memang hasil selingkuh atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at, maka dihukum dengan rajam dan anaknya adalah anak zina. Dengan demikian maka nasab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya.
o Wanita itu mengingkari anak tersebut hasil selingkuh, maka pasangan suami istri itu saling melaknat (mula’anah) lalu dipisahkan dan digagalkan ikatan pernikahan keduanya selama-lamanya. Anak tersebut menjadi anak mula’anah bukan anak zina. Namun demikian tetap dinasabkan kepada ibunya.
2. Tidak menjadi istri seseorang.
Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah lalu melahirkan anak, maka anak tersebut memiliki dua keadaan:
• Bila tidak ada seorangpun yang menzinainya yang meminta anak tersebut dinasabkan kepadanya, maka hukumnya tidak dinasabkan kepada lelaki dan dinasabkan kepada ibunya.
• Bila ada yang mengaku menzinai wanita tersebut dan mengakui anak tersebut adalah anaknya, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dalam dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan Anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya.
Inilah pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (imam empat madzhab) [Lihat Ikhtiyaraat Ibnu Taimiyah, Ahmad al-Muufi 2/828] dan pendapat Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiriyah [Lihat al-Muhalla 10/323]. Pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.
Dasar pendapat ini adalah:
a. Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
Artinya: “Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” [HR Bukhari]
Dalam hadits yang mulia ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menjadikan anak tersebut dinasabkan kepada selain suami ibunya. Menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.
b. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:
Artinya: “Seorang berdiri seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya, saya dulu di zaman Jahiliyah menzinahi ibunya’. Maka Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: ‘Tidak ada pengakuan anak dalam islam, telah hilang urusan jahiliyah. Anak adalah milik suami wanita (al-Firaasy) dan pezina dihukum’.”[HR. Abu Dawud, Kitab Ath-Thalaq, Bab Al-Walad Lil Firasy no. 2274 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih sunan Abu Dawud dan Shahih al-jaami’ no. 2493]
c. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
Artinya: “Tidak ada perzinaan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashobah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan.” [HR. Abu Dawud no. 2264 dan di-dhoif-kan Al-Albani dalam Dho’if al-Jaami dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Ma’ad 5/382]
d. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiallahu’anhu yang berbunyi :
Artinya: “Sungguh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ingin memutuskan bahwa setiap anak yang dinasabkan setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang dimilikinya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka dinasabkan kepada yang meminta penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinainya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.” [HR Abu daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad al-Ma’ad 5/383]

Ibnu al-Qayyim menyatakan: “Hadits ini membantah pendapat Ishaaq dan yang sepakat dengannya.” [Zaad al-Ma’ad 5/384]
e. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
Artinya: “Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan.” [HR At-Tirmidzi, kitab al-Fara`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan At-tirmidzi dan Shohih al-Jaami’ no. 2723]
b. Anak Zina dan Warisan
Hukum dalam warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak mula’anah karena terputusnya nasab mereka dari sang bapak [Lihat al-Mughni 9/122]. Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.
1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada dengan adanya sebab pewarisan (Sabaab al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’I kepada lelaki tersebut maka tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian maka anak zina tersebut tidak mewarisi dari orang tersebut dan kerabatnya dan juga lelaki tersebut tidak mewarisi harta dari anak zina tersebut.
2. Anak zina dengan ibunya
Dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan anak zina tersebut sama seperti anak-anak ibunya yang lainnya, karena ia adalah anaknya sehingga masuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala :
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. An-Nisaa` 4: 11]
Sebab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan nasab adalah sebab pewarisan. Demikian juga anak zina tersebut statusnya dalam hal ini sama dengan anak mula’anah yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam memutuskan perkara mula’anah, Sahl bin Sa’ad Radhiallahu’anhu berkata:
Artinya: “Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mula’anah. Wanitanya tersebut dalam keadaan hamil, lalu suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut, kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah” [HR Al-Bukhari, Kitab At-Tafsir no. 4746 lihat Fathul Baari 8/448 dan Muslim dalam kitab al-Li’an, lihat Syarh An-Nawawi 10/123 ]
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Seorang lelaki apabila melakukan mula’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya dan hakim telah memisahkan antara keduanya, maka nak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mula’anah tersebut, sehingga ia tidak mewarisinya dan tidak juga seorangpun ahli waris (‘Ashobah)nya. Ibunya dan dzawu al-Furudh darinya yang mewarisinya saja. Juga waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.” [Al-Mughni 9/114]

C. ANAK HASIL INSEMINASI DAN BAYI TABUNG
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di ntara pancamaslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk kesulitan reproduksi manusia dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya.
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif Medicine, DR. Andrew Weil sangat meresahkan dan mengkhawatirkan penggunaan inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk memahami konsekuensi etis dan sosial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr. Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru Besar Bioethics di University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika biologi dalam praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi paada 1960 –an sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.
Inseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan atau manusia tanpa melalui senggama (sexual intercourse). Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran, antara lain adalah: Pertama; Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro (tabung), dan setelah terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri. Kedua; Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera ditanam di saluran telur (tuba palupi) Teknik kedua ini terlihat lebih alamiah, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palupi setelah terjadi ejakulasi melalui hubungan seksual.
a. Anak hasil inseminasi dan bayi tabung menurut pandangan Islam
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Masalah inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri.
Dengan demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Menurut hemat penulis, dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah:
Pertama; firman Allah SWT dalam surat al-Isra:70 dan At-Tin:4. Kedua ayat tersebuti menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari ssperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat) harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/kebaikan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahah. Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar, antara lain berupa:
1. percampuran nasab, padahal Islam sangat menjada kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tanggal.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.
6. Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi atau hubungan perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan antara dua orang karena agama melarangnya, dll. lagi pula negara kita tidak mengizinkan inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.











BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pendapat Yusuf Qardhawi tersebut, diamini oleh Ahmad Asy-Syarbashi, sebagaimana dinyatakan beliau dalam bukunya Yas’alunaka, maka haramnya mengangkat anak adalah, apabila nasabnya dinisbatkan kepada diri orang tua yang mengangkatnya. Sedangkan mengangkat anak, apalagi anak yatim, yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah s.w.t. Hal ini sebagaimana dikatakan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: ‘Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya.’
semaraknya perzinaan membuahkan banyak permasalahan. Tidak hanya pada kedua pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan tersebut. Gelaran anak zina sudah cukup membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian muncul masalah lainnya, seperti nasab, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin lepas darinya.
hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).




DAFTAR PUSTAKA


http://shohwatulislam.multiply.com/journal/item/16
http://ustadzkholid.com/fiqih/status-anak-zina/
HR Al-Bukhari kitab Al-Faraa’id, Bab Man idda’a Akhanat au Ibna Akhi, lihat Fathul Bari 12/52 ]