permandangan

permandangan

Rabu, 11 Desember 2013

PENGERTIAN ILMU TAUHID,BIDANG PEMBAHASAN ILMU TAUHID, TINGKATAN TAUHID DAN KEUTAMAAN MEMPELAJARI ILMU TAUHID

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma’ wa sifat. Tauhid sendiri berasal dari Bahasa Arab “ wahhada-yuwahhidu-tauhiidan”, artinya mengesakan atau menunggalkan dari sekian banyak yang ada. Adapun ilmu tauhid adalah ilmu yang mempelajari mengenai kepercayaan tentang Tuhan dengan segala segi-seginya, yang berarti termasuk didalamnya soal wujud-Nya, ke-Esaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Syeh M. Abduh mengatakan bahwa, ilmu tauhid (ilmu kalam) adalah ilmu yang membicarakan wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada-Nya; membicarakan tentang Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkankepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada mereka (Hanafi, 2003: 2). Pada dasarnya manusia dari sejak lahir berada dalam fitrahnya yaitu, bertauhid. Namun sesuai perkembangan lingkungan dan orang tuanyalah yang menentukan selanjutnya. Banyak orang yang beriman namun tanpa didasari pengetahuan yang memadai. Mereka beribadah namun ada saja yang masih menyimpang dari ketauhidannya. Apalagi mereka yang berada di penjuru kampung yang masih banyak mempercayai pohon-pohon yang besar, batu-batuan yang besar, dan lain sebagainya. Berangkat dari uraian diatas kami berupaya untuk menjelaskan mengenai ilmu tauhid dan perangkatnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut. 1) Apa pengertian tauhid dan ilmu tauhid? 2) Bidang pembahasan apa saja dalam ilmu tauhid? 3) Apa saja tingkatan tauhid itu? 4) Bagaimana Tingkatan ilmu tauhid di antara ilmu yang lain? C. Manfaat Penulisan Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan khazanah mengenai ketauhidan dan perangkat-perangkatnya. D. Metode Penulisan Makalah ini disusun dengan mengumpulkan referensi kajian pustaka dari buku dan dari alat elektronik bertaraf Internasional yaitu internet. BAB II PEMBAHASAN PENGERTIAN ILMU TAUHID, BIDANG PEMBAHASAN ILMU TAUHID, TINGKATAN TAUHID DAN KEUTAMAAN MEMPELAJARI ILMU TAUHID A. Pengertian Tauhid dan Ilmu Tauhid Tauhid merupakan masdar/kata benda dari kata yang berasal dari bahasa arab yaitu “wahhada-yuwahhidu-tauhiidan” yang artinya menunggalkan sesuatu atau keesaan. Yang dimaksud disini adalah mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil dalil keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa. Menurut Syeh M, Abduh, ilmu tauhid (ilmu kalam) ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya; membicarakan tentang Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkan kepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada mereka. (Hanafi, 2003: 2). Ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama. Allah SWT berfirman: فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Q.S. Muhammad: 19) Seandainya ada orang tidak mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir. Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir. Perkara dasar yang wajib dipercayai dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup terang dan kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara ini tidak boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang lain. (http://orgawam.wordpress.com/2012/11/07/definisi-tauhid-dan-ilmu-tauhid/). B. Penamaan Ilmu Tauhid: Ilmu Tauhid juga disebut; 1) Ilmu ‘Aqa’id: ‘Aqdun artinya tali atau pengikat. ‘Aqa’id adalah bentuk jama’ dari ‘Aqdun. Disebut ‘Aqa’id, karena didalamnya mempelajari tentang keimanan yang mengikat hati seseorang dengan Allah, baik meyakini wujud-Nya, ke-Esaan-Nya atau kekuasaan-Nya. 2) Ilmu Kalam: kalam artinya pembicaraan. Disebut ilmu kalam, karena dalam ilmu ini banyak membutuhkan diskusi, pembahasan, keterangan-keterangan dan hujjah (alasan) yang lebih banyak dari ilmu lain. 3) Ilmu Ushuluddin: Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Disebut Ilmu Ushuluddin, karena didalamnya membahas prinsip-prinsip ajaran agama, sedang ilmu yang lainnya disebut furu’ad-Din (cabang-cabang agama), yang harus berpijak diatas ushuluddin. 4) Ilmu Ma’rifat: ma’rifat artinya pengetahuan. Disebut ilmu ma’rifat, karena didalamnya mengandung bimbingan dan arahan kepada kepada umat manusia untuk mengenal khaliqnya. (Zakaria, 2008:1) C. Sebab-sebab dinamakan ilmu kalam ialah karena: 1) Persoalan yang terpenting diantara pembicaraan-pembicaran masa-masa pertama Islam ialah Firman Tuhan (Kalam Allah), yaitu Qur’an apakah azali atau non-azali. Karena itu keseluruhan isi Ilmu kalam dinamai dengan salah satu bagian yang terpenting. 2) Dalam Ilmu Kalam ialah dalil-dalil akal pikiran di mana pengaruhnya tampak jelas pada pembicaraan ulama-ulama kalam, sehingga mereka kelihatan sebagai ahli bicara. Dalil Naqli (Qur’an dan Hadits) baru dipakai sesudah mereka menetapkan kebenaran persoalan dari segi akal pikiran. 3) Pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat. Untuk dibedakan dengan logika, maka pembuktian-pembuktian tersebut dinamai “Ilmu Kalam”. (Hanafi, 2003: 5) D. Hakikat Tauhid Seluruh manusia terlahir ke dunia ini dalam keadaan fitrahnya, yakni bertauhid. Sebagaimana yang di terangkan dalam ayat Q. S. Ar-Rum: 30.          ••             ••    Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam; sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan menusia tidak mengetahui.” (Q.S. ar-Rum:30) Manusia pada dasarnya memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang gaib, sebab itulah ia disebut makhluk religius, yaitu makhluk yang memiliki bawaaan primordial (azali) untuk beragama dan percaya kepada Tuhan. Inilah fitrah manusia yang secara otomatis memiliki potensi bertuhan sejak kelahirannya. Rasulullah saw. Bersabda: Artinya: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Kedua oangtua nyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (H.R. Bukhari dan Muslim). Untaian kata-kata tauhid dalam Islam dinyatakan dalam kalimat “laa ilaaha ilallaah”, Allah sebagai satu-satunya Tuhan. E. Implikas Tauhid Tauhid dalam Islam yang diekspresikan dengan kalimat “laa ilaaha ilallah” merupakan titik tolak untuk membebaskan belenggu. Tauhid ini pula yang membebaskan manusia dari belenggu manusia lainnya, dari penyembahan terhadap rasio dan mental, serta dari sikap hidup materialistis. Tauhid juga membebaskan manusia dari kependetaan dan hiruk pikuk dunia. Jadi, tauhid mengandung pengertian bahwa manusia tidak membutuhkan apa-apa selain Allah, sehingga seseorang yang beriman diberi kemulyaan dan kepuasan sebagai hamba yang bebas dan benar-benar terhormat. Sudah jelaslah bahwa konsep tauhid “laa ilaaha ilallaah” mempunyai implikasi begitu revolusioner berupa pembebasan. Ia meniadakan otoritas, apapun bentuknya, untuk berhubungan dengan Allah swt. Sehingga manusia terbebas dari perbudakan mental dan penyembahan sesama makhluk. Allah swt., sudah jelas dekat dengan siapapun. Firman Allah swt.                     Artinya : “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdosa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran. (Q.S. al-Baqarah: 186) Inilah diantara hakikat tauhid “laa ilaaha ilallaah”. Apabila setiap orang mempunyai tauhid yang benar dan memahami tentang dirinya yang bebas dari belenggu apapun selain Allah swt., maka seharusnya ia dapat bekerja dan berkarya lebih baik tanpa gangguan pemikiran-pemikiran khurafat dan takhayul yang justru menghalangi etos kerja dan karya bagi kehidupan manusia. (Ismail, 2008: 10-23) F. Bidang Pembahasan Ilmu Tauhid Tauhid mempunyai beberapa pembahasan diantaranya ada 6 yakni: 1) Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya tanpa sekutu apapun bentuknya. 2) Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw. 3) Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang. 4) Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan mereka dengan manusia di dunia dan akhirat. 5) Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka). 6) Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini. Allah swt berfirman:                Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS: Al-Baqarah: 285) Rasulullah saw. ditanya tentang iman, lalu beliau pun menjawab; أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. Artinya: “Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim). G. Tingkatan Tauhid Baik tauhid maupun kemusyrikan ada tingkatan dan tahapannya masing-masing. Sebelum kita melewati semua tahap dalam tauhid, kita belum dapat menjadi pengikut atau ahli tauhid (muwahhid) yang sejati. Adapun tingkatan tauhid adalah sebagai berikut.  Tauhid Zat Allah Yang dimaksud dengan tauhid (keesaan) Zat Allah adalah, bahwa Allah Esa dalam Zat-Nya. Kesan pertama tentang Allah pada kita adalah, kesan bahwa Dia berdikari. Dia adalah Wujud yang tidak bergantung pada apa dan siapa pun dalam bentuk apa pun. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah Ghani (Absolut). Segala sesuatu bergantung pada-Nya dan membutuhkan pertolongan-Nya. Dia tidak membutuhkan segala sesuatu. Allah berfirman:   ••           Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah. Dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan apa pun) lagi Maha Terpuji. (QS. Fâthir: 15) Kaum filosof menggambarkan Allah sebagai eksis sendiri, atau sebagai wujud yang eksistensinya wajib. Kesan kedua tentang Allah pada setiap orang adalah, bahwa Allah adalah Pencipta. Dialah Pencipta dan sumber final dari segala yang ada. Segala sesuatu adalah "dari-Nya". Dia bukan dari apa pun dan bukan dari siapa pun. Menurut bahasa filsafat, Dia adalah "Sebab Pertama". Inilah konsepsi pertama setiap orang tentang Allah. Setiap orang berpikir tentang Allah. Dan ketika berpikir tentang Allah, dalam benaknya ada konsepsi ini. Kemudian dia melihat apakah sebenarnya ada suatu kebenaran, kebenaran yang tidak bergantung pada kebenaran lain, dan yang menjadi sumber dari segala ke¬benaran. Kaidah bahwa sesuatu yang ada selalu menjadi bagian dari spesies, hanya berlaku pada ciptaan atau makhluk saja. Misal, jika sesuatu itu bagian dari spesies manusia, maka dapat dibayangkan bahwa sesuatu itu adalah anggota dari spesies manusia ini. Namun untuk Wujud Yang Ada Sendiri, kita tidak dapat membayangkan seperti itu. Dia berada di luar semua pikiran seperti itu. Karena kebenaran yang ada Sendiri itu satu, maka sumber dan tujuan alam semesta hanya satu. Alam semesta bukanlah berasal dari berbagai sumber, juga tidak akan kembali ke berbagai sumber. Alam semesta berasal dari satu sumber dan satu kebenaran. Dengan kata lain, alam semesta memiliki satu pusat, satu kutub dan satu orbit. Hubungan antara Allah dan alam semesta adalah hubungan Pencipta dan makhluk, yaitu hubungan sebab dan akibat, bukan jenis hubungan antara sinar dan lampu, atau antara kesadaran manusia dan manusia. Namun demikian, ketidakterpisahan Allah dari alam semesta tidaklah berarti bahwa Dia bagi alam semesta adalah seperti sinar bagi lampu atau seperti kesadaran bagi tubuh. Kalau demikian halnya, maka Allah merupakan efek dari alam semesta, bukan sebab dari alam semesta, karena sinar adalah efek dari lampu. Begitu pula, ketidakterpisahan Allah dari alam semesta tidaklah berarti bahwa Allah, alam semesta dan manusia memiliki orientasi yang sama, dan semuanya eksis dengan kehendak dan semangat yang sama. Semua ini adalah sifat makhluk yang adanya karena sesuatu yang lain  Tauhid dalam Sifat-sifat Allah Tauhid Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat dan Sifat-sifat Allah identik, dan bahwa berbagai Sifat-Nya tidak terpisah satu sama lain. Tauhid Zat artinya adalah menafikan adanya apa pun yang seperti Allah, dan Tauhid Sifat-sifat-Nya artinya adalah menafikan adanya pluralitas di dalam Zat-Nya. Allah memiliki segala sifat yang menunjukkan kesempurnaan, keperkasaan dan ke-indahan, namun dalam Sifat-sifat-Nya tak ada segi yang benar-benar terpisah dari-Nya. Keterpisahan zat dari sifat-sifat dan keterpisahan sifat-sifat dari satu sama lain merupakan ciri khas keterbatasan eksistensi, dan tak mungkin terjadi pada eksistensi yang tak terbatas. Pluralitas, perpaduan dan keterpisahan zat dan sifat-sifat tak mungkin terjadi pada Wujud Mutlak. Seperti Tauhid zat Allah, tauhid sifat-sifat Allah merupakan doktrin Islam dan salah satu gagasan manusiawi yang paling bernilai, yang semata-mata mengkristal dalam mazhab syiah. Disini kami kutipkan sebuah kalimat dalam khotbah pertama “Nahj al-balaghah” yang membenarkan sekaligus menjelaskan gagasan ini : “segala puji bagi Allah. Tak ada ahli pidato ahli bicara pun yang dapat memuji-Nya dengan memadai. Rahmat dan berkah-Nya tak dapat di hitung oleh ahli hitung sekalipun. Yang paling perhatian sekalipun tak dapat menyembah dengan semestinya. Dia tak dapat di mengerti sepenuhnya, sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh pembatas apapun. Tak ada kata yang yang dapat menggambarkan-Nya dengan utuh.” Seperti kita tahu, dalam kalimat di atas digarisbawahi ketidakterbatasan sifat-sifat Allah. Dalam khotbah itu juga, setelah beberapa kalimat, Iman ali bin abi thalib as berkata: “sebenar-benar ketaatan kepada-Nya artinya adalah menafikan pengaitan sifat-sifat kepada-Nya, karena pihak yang dikaiti sifat menunjukan bahwa pihak tersebut beda dengan sifat yang dikaitkan kepada-Nya, dan setiap sifat-Nya menujukan bahwa sifat tersebut beda dengan pihak tersebut. Barang siapa mengaitkan sifat kepada Allah berarti dia menyamakan-Nya (dengan sesuatu), dan barang siapa menyamakan-Nya” (Lihat Nahj al-balaghah, khotbah 1, hal.137.ISP.1984) Dalam kaliamat pertama ditegaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat (yang sifat-sifat Nya tak di batasi oleh batas-batas). Dalam kalimat kedua juga ditegaskan bahwa Dia memiliki sifat-sifat, namun diperintahkan untuk tidak mengaitkan sifat-sifat kepada Nya. Redaksi kalimat-kalimat ini menunjukkan bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya tak terbatas seperti halnya ketakterbatasan diri-Nya sendiri, bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya identik dengan Zat-Nya, dan sifat-sifat yang tak dimiliki-Nya adalah sifat-sifat yang terbatas dan terpisah dari Zat-Nya dan terpisah satu sama lain. Dengan demikian, Tauhid dalam Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat Allah dan Sifat-sifat-Nya adalah satu.  Tauhid dalam Perbuatan Allah Arti Tauhid dalam perbuatan-Nya adalah mengakui bahwa alam semesta dengan segenap sistemnya, jalannya, sebab dan akibatnya, merupakan perbuatan Allah saja, dan terwujud karena kehendak-Nya. Di alam semesta ini tak satu pun yang ada sendiri. Segala sesuatu bergantung pada-Nya. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah pemelihara alam semesta. Dalam hal sebab-akibat, segala yang ada di alam semesta ini bergantung. Maka dari itu, Allah tidak memiliki sekutu dalam Zat-Nya, Dia juga tak memiliki sekutu dalam perbuatan-Nya. Setiap perantara dan sebab ada dan bekerja berkat Allah dan bergantung pada-Nya. Milik-Nya sajalah segala kekuatan maupun kemampuan untuk berbuat. Manusia merupakan satu di antara makhluk yang ada, dan karena itu merupakan ciptaan Allah. Seperti makhluk lainnya, manusia dapat melakukan pekerjaannya sendiri, dan tidak seperti makhluk lainnya, manusia adalah penentu nasibnya sendiri. Namun Allah sama sekali tidak mendelegasikan Kuasa-kuasa-Nya kepada manusia. Karena itu manusia tidak dapat bertindak dan berpikir semaunya sendiri, "Dengan kuasa Allah aku berdiri dan duduk. " Percaya bahwa makhluk, baik manusia maupun makhluk lainnya, dapat berbuat semaunya sendiri, berarti percaya bahwa makhluk tersebut dan Allah sama-sama mandiri dalam berbuat. Karena mandiri dalam berbuat berarti mandiri dalam zat, maka kepercayaan tersebut bertentangan dengan keesaan Zat Allah (Tauhid dalam Zat), lantas apa yang harus dikatakan mengenai keesaan perbuatan Allah (Tauhid dalam Perbuatan).                        Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dan kehinaan. Karma itu, agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. (QS. al-Isrâ': 111)  Tauhid dalam Ibadah Tiga tingkatan Tauhid yang dipaparkan di atas sifatnya teoretis dan merupakan masalah iman. Ketiganya harus diketahui dan diterima. Namun Tauhid dalam ibadah merupakan masalah praktis, merupakan bentuk "menjadi". Tingkatan-tingkatan tauhid di atas melibatkan pemikiran yang benar. Tingkat keempat ini merupakan tahap menjadi benar. Tahap teoretis tauhid, artinya adalah memiliki pandangan yang sempurna. Tahap praktisnya artinya adalah berupaya mencapai kesempurnaan. Tauhid teoretis artinya adalah memahami keesaan Allah, sedangkan tauhid praktis artinya adalah menjadi satu. Tauhid teoretis adalah tahap melihat, sedangkan tauhid praktis adalah tahap berbuat. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang tauhid praktis, perlu disebutkan satu masalah lagi mengenai tauhid teoretis. Masalahnya adalah apakah mungkin mengetahui Allah sekaligus dengan keesaan Zat-Nya, keesaan Sifat-sifat-Nya dan keesaan perbuatan-Nya, dan jika mungkin, apakah pengetahuan seperti itu membantu manusia untuk hidup sejahtera dan bahagia; atau dan berbagai tingkat dan tahap tauhid, hanya tauhid praktis saja yang bermanfaat. Sejauh menyangkut kemungkinan mendapat pengetahuan seperti itu, sudah kami bahas dalam buku kami "Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme". Apakah pengetahuan seperti itu bermanfaat atau justru sebaliknya, itu tergantung pada konsepsi kita sendiri mengenai manusia, kesejahteraan dan kebahagiaannya. Gelombang pemikiran materialistis di zaman modern ini bahkan menyebabkan kaum yang beriman kepada Allah menganggap tak banyak manfaatnya masalah-masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah. Mereka memandang masalah-masalah seperti itu sebagai semacam manuver mental dan pelarian dari problem-problem praktis kehidupan. Namun seorang Muslim yang percaya bahwa realitas manusia bukanlah realitas jasmaninya saja, namun realitas sejati manusia adalah realitas spiritualnya dan bahwa hakikat roh manusiawi adalah hakikat pengetahuan dan kesuciannya, tahu betul bahwa apa yang disebut sebagai tauhid teoretis itu sendiri, selain merupakan dasar dari tauhid praktis, merupakan kesempumaan psikologis yang paling tinggi tingkatannya. Tauhid ini mengangkat manusia, membawa manusia menuju Kebenaran Ilahiah, dan membuat manusia menjadi sempurna. Sisi manusiawi manusia ditentukan oleh pengetahuannya tentang Allah. Pengetahuan manusia bukanlah sesuatu yang terpisah dari manusia itu sendiri. Semakin tahu manusia itu tentang alam semesta, sistemnya dan asal-usulnya, semakin berkembang sisi manusiawi manusia tersebut, yang lima puluh persen substansi sisi manusiawi itu berupa pengetahuan. Dari sudut pandang Islam, khususnya ajaran Syiah, tak ada keraguan sedikit pun bahwa tujuan sisi manusiawi itu sendiri adalah mengetahui tentang Allah, tak soal dengan efek praktis dan sosialnya. Sekarang kita bahas masalah tauhid praktis. Tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah hanya menyembah atau beribadah kepada Allah saja. Dengan kata lain, tulus ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Kemudian akan kami jelaskan bahwa dari sudut pandang Islam, ibadah ada tingkatan-tingkatannya. Tingkatannya yang sangat jelas adalah menunaikan ritus-ritus yang berkaitan dengan penyucian dan pengagungan Allah. Kalau ritus-ritus seperti itu dilakukan untuk selain Allah, artinya adalah keluar total dari Islam. Namun demikian, dari sudut pandang Islam, ibadah bukan hanya tingkatan yang ini saja. Setiap bentuk orientasi spiritual dan menerima sesuatu sebagai ideal spiritual, maka hal itu tergolong ibadah. Al-Qur'an memfirmankan:           Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. (QS. al-Furqân: 43) Dengan demikian tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah menerima Allah saja sebagai yang layak untuk ditaati tanpa pamrih, memandang hanya Dia saja yang menjadi ideal dan arah perilaku, dan menolak selain-Nya serta menganggap selain-Nya tidak layak ditaati tanpa pamrih, atau tidak layak untuk dijadikan ideal. Tauhid ibadah artinya adalah tunduk kepada Allah saja, bangkit untuk-Nya saja, dan hidup untuk-Nya saja, serta mati untuk-Nya saja. (Nabi Ibrahim berkata): "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang mendptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang yang mempersekutukan Tuhan"... Tauhid Nabi Ibrahim ini merupakan Tauhid praktis atau Tauhid ibadah. Inilah yang divisualisasikan oleh iman ini: "La ilaha illallah" (tiada Tuhan selain Allah). (Muthahhari, Murtadha. 2002: 69-73) H. Kedudukan Ilmu Tauhid di Antara Semua Ilmu Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemulian tema yang dibahasnya. Ilmu kedokteran lebih mulia dari teknik perkayuan karena teknik perkayuan membahas seluk beluk kayu sedangkan kedokteran membahas tubuh manusia. Begitu pula dengan ilmu tauhid, ini ilmu paling mulia karena objek pembahasannya adalah sesuatu yang paling mulia. Adakah yang lebih agung selain Pencipta alam semesta ini? Adakah manusia yang lebih suci daripada para rasul? Adakah yang lebih penting bagi manusia selain mengenal Rabb dan Penciptanya, mengenal tujuan keberadaannya di dunia, untuk apa ia diciptakan, dan bagaimana nasibnya setelah ia mati? Apalagi ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama. Karena itu, hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah sampai ia betul-betul memiliki keyakinan dan kepuasan hati serta akal bahwa ia berada di atas agama yang benar. Sedangkan mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu kifayah, artinya jika telah ada yang mengetahui, yang lain tidak berdosa. Allah swt. berfirman, فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19) BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Setelah membaca dan menganalisis makna tauhid, pembagian tauhid, arti pentingnya mempelajari tauhid, dan kewajiban tauhid, penulis dapat menarik kesimpulan: kewajiban kita layaknya manusia hanya menyembah kepada Allah SWT saja. Allah swt telah menciptakan untuk manusia berbagai prasarana berupa alam semesta ini. Semua itu untuk mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Allah juga membantu mereka untuk mewujudkan peribadahan tersebut dengan limpahan rizki. Sedangkan Allah tidak membutuhkan imbalan apa pun dari para makhluk-Nya. Sesungguhnya tauhid tertanam pada jiwa manusia secara fitroh. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu setan yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Para setan baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah. Sehingga dari hal tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa makna tauhid adalah asal yang terdapat pada fitroh manusia sejak dilahirkan. Aplikasi Tauhid bahwasanya berilmu dan mengetahui serta mengenal tauhid itu adalah kewajiban yang paling pokok & utama sebelum mengenal yang lainya serta beramal (karena suatu amalan itu akan di terima jika tauhidnya benar). B. Saran Dengan penulisan makalah ini diharapkan pembaca dapat : • Memperoleh pengetahuan yang lebih luas tentang tauhid • Lebih mendekatkan diri kepada Allah • Meyakini bahwa hanya Allah lah yang esa DAFTAR PUSTAKA M, Hanafi. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru. Zakaria, A. 2008. Pokok-pokok Ilmu Tauhid. Garut: IBN AZKA Press. Ismail, Roni. 2008. Menuju Hidup Islam. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Muthahhari, Murtadha. 2002. Manusia dan Alam Semesta. Jakarta: PT. Lentera basritama. Suhermawan, Agus. 2012. Pengertian Ilmu Tauhid. [online]. Tersedia: http://www.kucoba.com/2012/10/pengertian-ilmu-tauhid.html. [09 Februari 2013]. Orgawam. 2012. Definisi Tauhid dan Ilmu Tauhid. [online]. Tersedia: http://orgawam.wordpress.com/2012/11/07/definisi-tauhid-dan-ilmu-tauhid/. [09 Februari 2013] Hendratno. 2008. Mengenal Ilmu Tauhid. [online]. Tersedia: http://www.dakwatuna.com/2008/07/824/mengenal-ilmu-tauhid/. [09 Februari 2013]

Sabtu, 19 Februari 2011

KUMPULAN MAKALAH PAI: PUASA

KUMPULAN MAKALAH PAI: PUASA: "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Puasa merupakan salah satu dari rukun islam kita sebagai umat muslim wajib menjalankan puasa Ramadhan ..."

PUASA



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puasa merupakan salah satu dari rukun islam kita sebagai umat muslim wajib menjalankan puasa Ramadhan saya menuliskan tema puasa ini agar kita lebih mengerti apa puasa itu dan semoga kita menjadi penguasa diri kita sendiri dengan berpuasa. Ramadhan merupakan bulan dimana kita harus dapat mengendalikan diri kita,hal yang utama yang harus kita lakukan dalam pelaksanaan puasa ramadhan adalah kita harus menjadi penguasa dan raja bagi diri kita sendiri kita harus benar-benar mengendalikan menurut aturan Ilahi yang berlaku. Kalau berbicara harus kita kendalikan demikian juga dengan mata semuanya harus kita kendalikan dengan baik. Mungkin kadang ada bertanya kenapa kita tetap sengsara, atau mengapa hidup kita gelisah dan tidak tenang ? jawaban yang tepat adalah karena kita tidak dapat mengendalikan diri kita sendiri. Pada bulan Ramadhan ini kita harus seperti kepongpong masuk seperti ulat berbulu yang ditakuti dan menjijikan dan keluar sebagai kupu-kupu yang indah yang begitu disenangi banyak orang, yang dapat kita artikan sebusuk dan sekotor apapun diri kita ,setelah menjalankan ibadah puasa ini kita harus menjadi orang yang memiliki kepribadian yang indah dan bermanfaat bagi dirikita sendiri dan orang lain.Di bulan suci Ramadhan inilah kesempatan yang baik untuk megembleng diri agar menjadi terindah dan terbaik. Rasulullah mensinyalir,umat islam akan banyak melaksanakan puasa ,hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Bagai mana menurut ada apakah ini benar? Kalau Rasulullah sudah mensinyalir demikian memang demikian keadaannya karena semua yang dikatakan dan dilakukan Rasulullah semua itu benar adanya dan tidak ada yang salah .Perkembangan pada saat ini apakah sesuai dengan sinyalemen Rasulullah tadi? Ibadah puasa umat islam pada saat ini Alhamdulillah sudah agak meningkat ternyata mereka mulai sadar ,mereka sadar bahwa ibadah puasa ini tidaklah sebuah tradisi saja melainkan sebuah jalan untuk meningkatkan keimanan.

B.Tujuan Penulisan
1) Memahami Pengertian puasa
Puasa tidak hanya menaha diri dari makan dan minum tapi harus menahan diri dari hal-hal yang akan merusak pahala puasa bitu sendiri ibadah puasa yang pokok adalah “menahan makan,minum,dan hawa nafsu mulai terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari” akan tetapi kita juga harus menahan nafas,bibir,mata, dan semua anggota badan kita dari hal-hal yang akan mebatalkan puasa.
Jika menurut mata sesuatu itu enak dilihat ,tetapi akan merusak amalan puasa maka tundukanlah . Demikian pula dengan bibir kita harus berhenti untuk tidak bicara yang tidak baik dan berguna. Mudah-mudahan setelah mulut,mata ,dan seluruh anggota badan kita bersih dengan menahan diri dari segala sesuatu yang tidak baik semoga hati kita menjadi bersih , dan hal ini merupakan puncak dari dari segala keindahan menikmati hidup di dunia ini. Karena orang yang hatinya bersih akan menjadi cahaya bagi diri sendiri dan orang lain.
2) Medefisinikan Macam-macam Puasa
C. Metode Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan dan webseat yang bahan nya bersangkutan dengan isi makalah ini.






BAB II
PEMBAHASAN
A. PUASA FARDHU
Puasa fardhu adalah puasa yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan syariat Islam.
Yang termasuk ke dalam puasa fardhu antara lain:
a. Puasa bulan Ramadhan
Puasa dalam bulan Ramadhan dilakukan berdasarkan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagai berikut :
              
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu terhindar dari keburukan rohani dan jasmani (QS. Al Baqarah: 183).

       ••                                        
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqoroh: 185)

b. Puasa Kafarat
Puasa kafarat adalah puasa sebagai penebusan yang dikarenakan pelanggaran terhadap suatu hukum atau kelalaian dalam melaksanakan suatu kewajiban, sehingga mengharuskan seorang mukmin mengerjakannya supaya dosanya dihapuskan, bentuk pelanggaran dengan kafaratnya antara lain :
• Apabila seseorang melanggar sumpahnya dan ia tidak mampu memberi makan dan pakaian kepada sepuluh orang miskin atau membebaskan seorang roqobah, maka ia harus melaksanakan puasa selama tiga hari.
• Apabila seseorang secara sengaja membunuh seorang mukmin sedang ia tidak sanggup membayar uang darah (tebusan) atau memerdekakan roqobah maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut (An Nisa: 94).
• Apabila dengan sengaja membatalkan puasanya dalam bulan Ramadhan tanpa ada halangan yang telah ditetapkan, ia harus membayar kafarat dengan berpuasa lagi sampai genap 60 hari.
• Barangsiapa yang melaksanakan ibadah haji bersama-sama dengan umrah, lalu tidak mendapatkan binatang kurban, maka ia harus melakukan puasa tiga hari di Mekkah dan tujuh hari sesudah ia sampai kembali ke rumah. Demikian pula, apabila dikarenakan suatu mudharat (alasan kesehatan dan sebagainya) maka berpangkas rambut, (tahallul) ia harus berpuasa selama 3 hari.
Menurut Imam Syafi’I, Maliki dan Hanafi:
Orang yang berpuasa berturut-turut karena Kafarat, yang disebabkan berbuka puasa pada bulan Ramadhan, ia tidak boleh berbuka walau hanya satu hari ditengah-tengah 2 (dua) bulan tersebut, karena kalau berbuka berarti ia telah memutuskan kelangsungan yang berturut-turut itu. Apabila ia berbuka, baik karena uzur atau tidak, ia wajib memulai puasa dari awal lagi selama dua bulan berturut-turut.

c. Puasa Nazar
Puasa nadzar adalah puasa yang tidak diwajibkan oleh Tuhan, begitu juga tidak disunnahkan oleh Rasulullah saw., melainkan manusia sendiri yang telah menetapkannya bagi dirinya sendiri untuk membersihkan (Tazkiyatun Nafs) atau mengadakan janji pada dirinya sendiri bahwa apabila Tuhan telah menganugerahkan keberhasilan dalam suatu pekerjaan, maka ia akan berpuasa sekian hari. Mengerjakan puasa nazar ini sifatnya wajib. Hari-hari nazar yang ditetapkan apabila tiba, maka berpuasa pada hari-hari tersebut jadi wajib atasnya dan apabila dia pada hari-hari itu sakit atau mengadakan perjalanan maka ia harus mengqadha pada hari-hari lain dan apabila tengah berpuasa nazar batal puasanya maka ia bertanggung jawab mengqadhanya.
B. PUASA SUNNAT
Puasa sunnat (nafal) adalah puasa yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.
Adapun puasa sunnat itu antara lain :
1. Puasa 6 (enam) hari di bulan Syawal
Bersumber dari Abu Ayyub Anshari r.a. sesungguhnya Rasulallah saw. bersabda: “ Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian dia menyusulkannya dengan berpuasa enam hari pada bulan syawal , maka seakan – akan dia berpuasa selama setahun”.
2. Puasa Tengah bulan (13, 14, 15) dari tiap-tiap bulan Qomariyah
Pada suatu hari ada seorng Arabdusun datang pada Rasulullah saw. dengan membawa kelinci yang telah dipanggang. Ketika daging kelinci itu dihidangkan pada beliau maka beliau saw. hanya menyuruh orang-orang yang ada di sekitar beliau saw. untuk menyantapnya, sedangkan beliau sendiri tidak ikut makan, demikian pula ketika si arab dusun tidak ikut makan, maka beliau saw. bertanya padanya, mengapa engkau tidak ikut makan? Jawabnya “aku sedang puasa tiga hari setiap bulan, maka sebaiknya lakukanlah puasa di hari-hari putih setiap bulan”. “kalau engkau bisa melakukannya puasa tiga hari setiap bulan maka sebaiknya lakukanlah puasa di hari-hari putih yaitu pada hari ke tiga belas, empat belas dan ke lima belas.
3. Puasa hari Senin dan hari Kamis.
Dari Aisyah ra. Nabi saw. memilih puasa hari senin dan hari kamis. (H.R. Turmudzi)


4. Puasa hari Arafah (Tanggal 9 Dzulhijjah atau Haji)
Dari Abu Qatadah, Nabi saw. bersabda: “Puasa hari Arafah itu menghapuskan dosa dua tahun, satu tahun yang tekah lalu dan satu tahun yang akan datang” (H. R. Muslim)
5. Puasa tanggal 9 dan 10 bulan Muharam.
Dari Salim, dari ayahnya berkata: Nabi saw. bersabda: Hari Asyuro (yakni 10 Muharram) itu jika seseorang menghendaki puasa, maka berpuasalah pada hari itu.
6. Puasa nabi Daud as. (satu hari bepuasa satu hari berbuka)
Bersumber dari Abdullah bin Amar ra. dia berkata : Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya puasa yang paling disukai oleh Allah swt. ialah puasa Nabi Daud as. sembahyang yang paling d sukai oleh Allah ialah sembahyang Nabi Daud as. Dia tidur sampai tengah malam, kemudian melakukan ibadah pada sepertiganya dan sisanya lagi dia gunakan untuk tidur, kembali Nabi Daud berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari.”
Mengenai masalah puasa Daud ini, apabila selang hari puasa tersebut masuk pada hari Jum’at atau dengan kata lain masuk puasa pada hari Jum’at, hal ini dibolehkan. Karena yang dimakruhkan adalah berpuasa pada satu hari Jum’at yang telah direncanakan hanya pada hari itu saja.
7. Puasa bulan Rajab, Sya’ban dan pada bulan-bulan suci
Dari Aisyah r.a berkata: Rasulullah saw. berpuasa sehingga kami mengatakan: beliau tidak berbuka. Dan beliau berbuka sehingga kami mengatakan: beliau tidak berpuasa. Saya tidaklah melihat Rasulullah saw. menyempurnakan puasa sebulan kecuali Ramadhan. Dan saya tidak melihat beliau berpuasa lebih banyak daripada puasa di bulan Sya’ban.
C. PUASA MAKRUH
Menurut fiqih 4 (empat) mazhab, puasa makruh itu antara lain :
• Puasa pada hari Jumat secara tersendiri
Berpuasa pada hari Jumat hukumnya makruh apabila puasa itu dilakukan secara mandiri. Artinya, hanya mengkhususkan hari Jumat saja untuk berpuasa.
Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Saya mendengar Nabi saw. bersabda: “Janganlah kamu berpuasa pada hari Jum’at, melainkan bersama satu hari sebelumnya atau sesudahnya.
•Puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan
Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw. beliau bersabda: “Janganlah salah seorang dari kamu mendahului bulan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka berpuasalah hari itu.”
•Puasa pada hari syak (meragukan)
Dari Shilah bin Zufar berkata: Kami berada di sisi Amar pada hari yang diragukan Ramadhan-nya, lalu didatangkan seekor kambing, maka sebagian kaum menjauh. Maka ‘Ammar berkata: Barangsiapa yang berpuasa hari ini maka berarti dia mendurhakai Abal Qasim saw.
D. PUASA HARAM
Puasa haram adalah puasa yang dilarang dalam agama Islam. Puasa yang diharamkan. Puasa-puasa tersebut antara lain:
• Puasa pada dua hari raya
Dari Abu Ubaid hamba ibnu Azhar berkata: Saya menyaksikan hari raya (yakni mengikuti shalat Ied) bersama Umar bin Khattab r.a, lalu beliau berkata:”Ini adalah dua hari yang dilarang oleh Rasulullah saw. Untuk mengerjakan puasa, yaitu hari kamu semua berbuka dari puasamu (1 Syawwal) dan hari yang lain yang kamu semua makan pada hari itu, yaitu ibadah hajimu.[12](Shahih Bukhari, jilid III, No.1901)
• Puasa seorang wanita dengan tanpa izin suami
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda: “Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada di rumah, di suatu hari selain bulan Ramadhan, kecuali mendapat izin suaminya.”[13](Sunan Ibnu Majah, jilid II, No.1761).
E. MENJELASKAN HAL-HAL YANG MEBATALKAN PUASA
• Makan dan minum dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa maka tidak batal puasanya.
• Jima’ (bersenggama).
• Memasukkan makanan ke dalam perut. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan yang mengenyangkan dan transfusi darah bagi orang yang berpuasa.
• Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar mani karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluarnya tanpa sengaja.
• Keluarnya darah haid dan nifas. Manakala seorang wanita mendapati darah haid, atau nifas batallah puasanya, baik pada pagi hari atau sore hari sebelum terbenam matahari.
• Sengaja muntah, dengan mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui mulut. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
”Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha, sedang barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Dalam lafazh lain disebutkan : “Barangsiapa muntah tanpa disengaja, maka ia tidak (wajib) mengganti puasanya).” DiriwayatRan oleh Al-Harbi dalamGharibul Hadits (5/55/1) dari Abu Hurairah secara maudu’ dan dishahihRan oleh AI-Albani dalam silsilatul Alhadits Ash-Shahihah No. 923.
• Murtad dari Islam (semoga Allah melindungi kita darinya). Perbuatan ini menghapuskan segala amal kebaikan. Firman Allah Ta’ala: Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. “(Al-An’aam:88).
Tidak batal puasa orang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu, lupa atau dipaksa. Demikian pula jika tenggorokannya kemasukan debu, lalat, atau air tanpa disengaja. Jika wanita nifas telah suci sebelum sempurna empat puluh hari, maka hendaknya ia mandi, shalat dan berpuasa.








BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Memang segala sesuatu harus diketahuai ilmunya dan dasar-dasar yang mendasari sesuatu hal,sehingga seseorang akan mau dan mampu mempelajari dan mengamalkan sesuatu hal lebih banyak dan dengan baik sepertipula puasa, maka seseorang itu akan melaksanakan puasa dengan sungguh-sungguh kalo tahu manfaatnya dan hokum-hukum yang mendasari sebuah amalan.Jadi jadikanlah bulan suci Ramadhan ini sebagai bulan untuk berprestasi seperti halnya Rasulullah saw. Para sahabat dan orang-orang saleh sebagai bulan untuk berprestasi kepada Allah.
Jagan sia-siakan kesempatan terbaik ini karena kita tidak tahu kapan kita akan dipanggil oleh Allah Swt.Bulan Ramadhan merupakan hadiah besar yang langsungsung dberikan Allah . Bagi umat islam sebagai sarana penyucian diri, Insya Allah,orang termalangpun bias sukses apabila melaksanakan puasa dengan baik dan benar. Oleh karena itu segeralah mengejar ilmunya dan amalkan dengan sungguh-sungguh.








DAFTAR PUSTAKA

Gymnastiar,Abdullah KH (2002). Aa Gym dan Fenomena Daarut Tauuhiid. Bandung: Mizan
http://www.mail-archive.com/jamaah@arroyyan.com/msg01669.html diakses tanggal 15 Agustus 2010
http://peperonity.com/go/sites/mview/assunnah.tuntunan.ibadah.ramadhan/15657500 diakses tanggal 15 Agustus 2010
http://www.facebook.com/home.php?#!/photo.php?pid=253210&op=1&o=global&view=global&subj=100000067804657&id=100000662467041 diakses tanggal 15 Agustus 2010
http://www.facebook.com/notes/muhammad-zainuddin/hukum-hukum-yang-berkaitan-dengan-puasa-ramadhan/419704869350 diakses tanggal 15 Agustus 2010
http://www.facebook.com/home.php?#!/photo.php?pid=409004&id=100000067804657&
Drs. H. Amir Abyan, MA dkk. Fiqih. Semarang. 1997

Jumat, 18 Februari 2011

KUMPULAN MAKALAH PAI: HAJI DAN UMROH

KUMPULAN MAKALAH PAI: HAJI DAN UMROH: "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Agama Islam bertugas mendidik dhahir manusia, mensucikan jiwa manusia, dan membebaskan diri m..."

HAJI DAN UMROH


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Agama Islam bertugas mendidik dhahir manusia, mensucikan jiwa manusia, dan membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan ibadah yang tulus ikhlas dan aqidah yang murni sesuai kehendak Allah, insya Allah kita akan menjadi orang yang beruntung.Ibadah dalam agama Islam banyak macamnya. Haji adalah salah satunya, yang merupakan rukun iman yang kelima. Ibadah haji adalah ibadah yang baik karena tidak hanya menahan hawa nafsu dan menggunakan tenaga dalam mengerjakannya, namun juga semangat dan harta.
Dalam mengerjakan haji, kita menempuh jarak yang demikian jauh untuk mencapai Baitullah, dengan segala kesukaran dan kesulitan dalam perjalanan, berpisah dengan sanak keluarga dengan satu tujuan untuk mencapai kepuasan batin dan kenikmatan rohani.
Untuk memperdalam pengetahuan kita, penulis mencoba memberi penjelasan secara singkat mengenai pengertisn haji dan umrah, tujuan yang ingin kita capai dalam haji dan umrah, dasar hukum perintah haji dan umrah, syarat, rukun dan wajib haji dan umrah serta hal-hal yang dapat membatalkan haji dan umrah.

B. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam pengetahuan kami dalam materi FIQIH dan memenuhi tugas dari dosen pengampu yaitu Bapak H. Uria Hasnan, Lc, M.Pd I



C. metode dan tekhnik penulisan
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode KEPUSTAKAAN

























BAB II
PEMBAHASAN
HAJI DAN UMROH


A. PENGERTIAN HAJI DAN UMRAH

Asal mula arti haji menurut lughah atau arti bahasa (etimologi) adalah “al-qashdu” atau “menyengaja”. Sedangkan arti haji dilihat dari segi istilah (terminology) berarti bersengaja mendatangi Baitullah (ka’bah) untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada waktu tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’, semata-mata mencari ridho Allah. Adapun umrah menurut bahasa bermakna ziarah. Sedangkan menurut syara’ umrah ialah menziarahi ka’bah, melakukan tawaf di sekelilingnya, bersa’yu antara Shafa dan Marwah dan mencukur atau menggunting rambut.

B. TUJUAN HAJI DAN UMRAH

Al-baqarah 189

        ••             •       •    
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

   •          ••          •     
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

C. Dasar Hukum Perintah Haji dan Umrah

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.Ayat di atas merupakan dalil naqli dari diwajibkannya ibadah haji bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk mengerjakannya.
Haji hanya diwajibkan satu kali dalam seumur hidup, sebagaimana yang telah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan sebutan haji wada’ pada tahun ke-10 hijriah. .

D. SYARAT, RUKUN DAN WAJIB HAJI DAN UMRAH

1. Syarat-Syarat Melakukan Haji
Adapun syarat-syarat wajib melakukan ibadah haji dan umrah adalah:

a) Islam
b) Baligh
c) Berakal
d) Orang Merdeka
e) Mampu (Istitha’ah)

a)Islam
Beragama Islam merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan melaksanakan ibadah haji dan umrah. Karena itu orang-orang kafir tidak mempunyai kewajiban haji dan umrah. Demikian pula orang yang murtad.

b) Baligh
Anak kecil tidak wajib haji dan umrah. Sebagaimana dikatakan oleh nabi Muhammad SAW: yang artinya “Kalam dibebaskan dari mencatat atas anak kecil sampai ia menjadi baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang yang gila sampai ia sembuh.

c) Berakal
Orang yang tidak berakal, seperti orang gila, orang tolol juga tidak wajib haji.

d) Merdeka
Budak tidak wajib melakukan ibadah haji karena ia bertugas melakukan kewajiban yang dibebankan oleh tuannya. Padahal menunaikan ibadah haji memerlukan waktu. Disamping itu budak itu termasuk orang yang tidak mampu dari segi biaya, waktu dan lain-lain.
e) Kemampuan (Isthitho’ah)

Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan dalam hal kendaraan, bekal, pengongkosan, dan keamanan di dalam perjalanan. Demikian pula kesehatan badan tentu saja bagi mereka yang dekat dengan makkah dan tempat-tempat sekitarnya yang bersangkut paut dengan ibadah haji dan umrah, masalah kendaraan tidak menjadi soal. Dengan berjalan kaki pun bisa dilakukan.Pengertian mampu, istitha’ah atau juga as-sabil (jalan, perjalanan), luas sekali, mencakup juga kemampuan untuk duduk di atas kendaraan, adanya minyak atau bahan bakar untuk kendaraan.
Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ad-Daru Quthni Anar ra. Terdapat percakapan sebagai berikut: yang artinya Rasulullah SAW ditanya: Apa yang dimaksud jalan (as-sabil, mampu melakukan perjalanan) itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: Yaitu bekal dan kendaraan.

Sedangkan yang dimaksud bekal dalam Fat-Hul Qorib disebutkan: Dan diisyaratkan tentang bekal untuk pergi haji (sarana dan prasarananya) hal mana telah tersebut di atas tadi, hendaklah sudah (cukup) melebihi dari (untuk membayar) hutangnya, dan dari (anggaran) pembiayaan orang-orang, dimana biaya hidupnya menjadi tanggung jawab orang yang hendak pergi haji tersebut. Selama masa keberangkatannya dan (hingga sampai) sekembalinya (di tanah airnya).
Dan juga diisyaratkan harus melebihi dari (biaya pengadaan) rumah tempat tinggalnya yang layak buat dirinya, dan (juga) melebihi dari (biaya pengadaan) seorang budak yang layak buat dirinya (baik rumah, dan budak disini, apabila benar-benar dibuktikan oleh orang tersebut).

2. Rukun-rukun Ibadah Haji dan Umrah

Rukun haji dan umrah merupakan ketentuan-ketentuan / perbuatan-perbuatan yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji apabila ditinggalkan, meskipun hanya salah satunya, ibadah haji atau umrahnya itu tidak sah . Adapun rukun-rukun haji dan umrah itu adalah sebagai berikut:

Rukun Haji
1) Ihram

Melaksanakan ihram disertai dengan niat ibadah haji dengan memakai pakaian ihram.Pakaian ihram untuk pria terdiri dari dua helai kain putih yang tak terjahit dan tidak bersambung semacam sarung. Dipakai satu helai untuk selendang panjang serta satu helai lainnya untuk kain panjang yang dililitkan sebagai penutup aurat. Sedangkan pakaian ihram untuk kaum wanita adalah berpakaian yang menutup aurat seperti halnya pakaian biasa (pakaian berjahit) dengan muka dan telapak tangan tetap terbuka.

2) Wukuf di Padang Arafah
Yakni menetap di Arafah, setelah condongnya matahari (kea rah Barat) jatuh pada hari ke-9 bulan dzulhijjah sampai terbit fajar pada hari penyembelihan kurban yakni tanggal 10 dzulhijjah.


3) Thawaf

Yang dimaksud dengan Thawaf adalah mengelilingi ka’bah sebayak tujuh kali, dimulai dari tempat hajar aswad (batu hitam) tepat pada garis lantai yang berwarna coklat, dengan posisi ka’bah berada di sebelah kiri dirinya (kebalikan arah jarum jam). .
Macam-macam Thawaf

a. Thawaf Qudum yakni thawaf yang dilaksanakan saat baru tiba di Masjidil Haram dari negerinya.
b. Thawaf Tamattu’ yakni thawaf yang dikerjakan untuk mencari keutamaan (thawaf sunnah)
c. Thawaf Wada’ yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan meninggalkan Makkah menuju tempat tinggalnya.
d. Thawaf Ifadha yakni thawaf yang dikerjakan setelah kembali dari wukuf di Arafah. Thawaf Ifadha merupakan salah satu rukun dalam ibadah haji.

4) Sai antara Shafa dan Marwah

Sai adalah lari-lari kecil sebayak tujuh kali dimulai dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah yang jaraknya sekitar 400 meter.Sai dilakukan untuk melestarikan pengalaman Hajar, ibunda nabi Ismail yang mondar-mandir saat ia mencari air untuk dirinya dan putranya, karena usaha dan tawakalnya kepada Allah, akhirnya Allah memberinya nikmat berupa mengalirnya mata air zam-zam.




5) Tahallul

Tahallul adalah menghalalkan pada dirinya apa yang sebelumnya diharamkan bagi dirinya karena sedang ihram. Tahallul ditandai dengan memotong rambut kepala beberapa helai atau mencukurnya sampai habis (lebih afdol)

6) Tertib Berurutan

Sedangkan Rukun dalam umrah sama dengan haji yang membedakan adalah dalam umrah tidak terdapat wukuf.

3. Wajib Haji dan Umrah

Wajib haji dan umrah adalah ketentuan-ketentuan yang wajib dikerjakan dalam ibadah haji dan umrah tetapi jika tidak dikerjakan haji dan umrah tetap sah namun harus mambayar dam atau denda.

Adapun Wajib-wajib haji adalah

a. Ihram dari miqat
Dalam melaksanakan ihram ada ketentuan kapan pakaian ihram itu dikenakan dan dari tempat manakah ihram itu harus dimulai. Persoalan yang membicarakan tentang kapan dan dimana ihram tersebut dikenakan disebut miqat atau batas yaitu batas-batas peribadatan bagi ibadah haji dan atau umrah.
Macam-macam miqat menurut Fah-hul Qarib

1.Miqat zamani (batas waktu) pada konteks (yang berkaitan) untuk memulai niat ibadah haji, adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah dan 10 malam dari bulan dzilhijjah (hingga sampai malam hari raya qurban). Adapun (miqat zamani) pada konteks untuk niat melaksanakan “Umrah” maka sepanjang tahun itu, waktu untuk melaksanakan ihram umrah.

2.Miqat makany (batas yang berkaitan dengan tempat) untuk dimulainya niat haji bagi hak orang yang bermukim (menetap) di negeri makkah, ialah kota makkah itu sendiri. Baik orang itu penduduk asli makkah, atau orang perantauan. Adapun bagi orang yang tidak menetap di negeri makkah, maka:

o Orang yang (datang) dari arah kota Madinah as-syarifah, maka miqatnya ialah berada di (daerah) “Dzul Halifah”
o Orang yang (datang) dari arah negeri Syam (syiria), Mesir dan Maghribi, maka miqatnya ialah di (daerah) “Juhfah”
o Orang yang (datang) dari arah Thihamatil Yaman, maka miqatnya berada di daerah “Yulamlam”.
o Orang yang (datang) dari arah daerah dataran tinggi Hijaz dan daerah dataran tinggi Yaman, maka miqatnya ialah berada di bukit “Qaarn”.
o Orang yang (datang) dari arah negeri Masyrik, maka miqatnya berada di desa “Dzatu “Irq”.

b. Melempar Jumrah

Wajib haji yang ketiga adalah melempar jumrah “Aqabah”, yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah, sesudah bermalam di Mudzalifah. Jumrah sendiri artinya bata kecil atau kerikil, yaitu kerikil yang dipergunakan untuk melempar tugu yang ada di daerah Mina. Tugu yang ada di Mina itu ada tiga buah, yang dikenal dengan nama jamratul’Aqabah, Al-Wustha, dan ash-Shughra (yang kecil). Ketiga tugu ini menandai tepat berdirinya ‘Ifrit (iblis) ketika menggoda nabi Ibrahim sewaktu akan melaksanakan perintah menyembeliih putra tersayangnya Ismail a.s. di jabal-qurban semata-mata karena mentaati perintah Allah SWT.
Di antara ketiga tugu tersebut maka tugu jumratul ‘Aqabah atau sering juga disebut sebagai jumratul-kubra adalah tugu yang terbesar dan terpenting yang wajib untuk dilempari dengan tujuh buah kerikil pada tanggal 10 Dzulhijjah.

c. Mabit di Mudzalifah

Wajib haji yang kedua adalah bermalam (mabit) di mudzalifah pada malam tanggal 10 Dzulhijjah, sesudah menjalankan wuquf di Arafah.

d. Mabid di Mina

Wajib haji keempat adalah bermalam (mabid) di mina pada hari Tasyrik, yaitu pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

e. Thawaf Wada’

Thawaf Wada’ yakni thawaf yang dilaksanakan ketika akan meninggalkan Makkah menuju tempat tinggalnya.

Sedangkan wajib umrah adalah sebagai berikut:

1. Ihram dari tempat yang telah ditentukan (miqat makani). Sedang miqat zamaninya tidak ditentukan karena ibadah umrah dapat dikerjakan sepanjang tahun.
2. Menjauhkan diri dari segala yang diharamkan bagi orang yang sedang melaksanakan umrah atau haji.

E. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN HAJI

Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 503 -- 504.
Ibadah haji bisa batal disebabkan oleh salah satu dari kedua hal berikut:

a. Jima’, senggama, bila dilakukan sebelum melontar jamrah ’aqabah.
Adapun jima’ yang dilakukan pasca melontar jamrah ’aqabah dan sebelum thawaf ifadhah, maka tidak dapat membatalkan ibadah haji, sekalipun yang bersangkutan berdosa. Namun sebagian di antara mereka berpandapat bahwa ibadah haji tidak bisa dianggap batal karena melakukan jima’, sebab belum didapati dalil yang menegaskan kesimpulan ini.

b. Meninggalkan salah satu rukun haji.
Manakala ibadah haji kita batal disebabkan oleh salah satu dari dua sebab ini, maka pada tahun berikutnya masih diwajibkan menunaikan ibadah haji, bila mampu.







BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

o Haji berarti bersengaja mendatangi Baitullah (ka’bah) untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan tata cara yang tertentu dan dilaksanakan pada waktu tertentu pula, menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’, semata-mata mencari ridho Allah.

o Umrah ialah menziarahi ka’bah, melakukan tawaf di sekelilingnya, bersa’yu antara Shafa dan Marwah dan mencukur atau menggunting rambut

o Ketaatan kepada Allah SWT itulah tujuan utama dalam melakukan ibadah haji.
Disamping itu juga untuk menunjukkan kebesaran Allah SWT.

o Dasar Hukum Perintah Haji atau umrah terdapat dalam QS. Ali- Imran 97
o Untuk dapat menjalankan ibadah haji dan umrah harus memenuhi syarat, rukun dan wajib haji atau umroh.
o Hal-Hal yang Membatalkan Haji adalah Jima’, senggama, bila dilakukan sebelum melontar jamrah ’aqabah dan meninggalkan salah satu rukun haji.







DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Amir Abyan, MA DKK. Fiqih. PT. Karya Putra Semarang. 1997


Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Haji, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999.

Pasha, Mustafa Kamal, Fikih Islam, Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta, 2003.

Asy-Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazy, Fath-Hul Qarib, Al-Hidayah, Surabaya, 1991.

Ilmu Fiqih, Jakarta, 1982.

KUMPULAN MAKALAH PAI: KUMPULAN MAKALAH PAI: ASHABUL FURUDH DAN BAGIAN-BA...

KUMPULAN MAKALAH PAI: KUMPULAN MAKALAH PAI: ASHABUL FURUDH DAN BAGIAN-BA...: "KUMPULAN MAKALAH PAI: ASHABUL FURUDH DAN BAGIAN-BAGIANNYA SERTA ASHABAH"

KUMPULAN MAKALAH PAI: ASHABUL FURUDH DAN BAGIAN-BAGIANNYA SERTA ASHABAH

KUMPULAN MAKALAH PAI: ASHABUL FURUDH DAN BAGIAN-BAGIANNYA SERTA ASHABAH